Yogyakarta (ANTARA News) - Aisyiyah melakukan protes terhadap Pimpinan Pusat Muhammadiyah, karena keterwakilan perempuan diabaikan dalam menetapkan sejumlah calon anggota pimpinan organisasi ini pada muktanar ke-46 di Yogyakarta.

Terkait dengan protes itu, Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah didukung seluruh pimpinan wilayah (PW) di 33 provinsi, Minggu, melayangkan nota keberatan atas hasil pemilihan 39 calon anggota PP Muhammadiyah periode 2010-2015, karena dinilai tidak mencerminkan keterwakilan kaum perempuan.

"Perempuan adalah termasuk anggota Muhammadiyah, sehingga seharusnya ada keterwakilan perempuan oleh perempuan dalam kepemimpinan persyarikatan itu," kata Sekretaris PP Aisyiyah Trias Setiawati.

Menurut dia, dalam sebuah rumah yang beranggotakan kaum laki-laki dan perempuan, seharusnya kedua pihak memiliki hak yang sama untuk bersuara, sehingga perempuan tidak hanya bersuara di "kamar sendiri" untuk kemudian didengarkan kaumnya sendiri.

"Aisyisyah mempercayai proses pemilihan calon anggota tetap PP Muhammadiyah yang dilakukan melalui sidang tanwir, tetapi nama-nama perempuan akhirnya tersisih, tidak masuk dalam 39 calon anggota PP Muhammadiyah," katanya.

Ia menegaskan hasil pemilihan tersebut juga membuat Aisyiyah merasa kepemimpinan kolektif Muhammadiyah tidak menghargai seluruh kontribusi yang telah dibukukan persyarikatan perempuan ini, sekaligus tidak mencerminkan semangat muktamar yang menegaskan adanya penghargaan atas kesetaraan laki-laki dan perempuan.

Pada nota keberatan tersebut, Aisyiyah mendesak agar Muktamar ke-46 atau Muktamar Satu Abad Muhammadiyah mempertimbangkan terwakilinya perempuan oleh perempuan di PP Muhammadiyah periode 2010-2015 melalui "affirmative action" sebagai strategi praktis.

Sedangkan langkah strategis jangka panjang adalah mendesak adanya perubahan sistem pemilihan anggota PP Muhammadiyah dan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga yang seimbang dalam menempatkan keanggotaan laki-laki dan perempuan, misalnya dalam perbaikan proporsi tanwir atau utusan daerah.

Nota keberatan itu disampaikan kepada panitia pemilihan anggota PP Muhammadiyah dan ke PP Muhammadiyah. "Mudah-mudahan ada tanggapan karena keterwakilan perempuan itu penting," katanya.

Sementara itu, Ketua PW Aisyiyah Provinsi Jawa Timur Esty Martiana Rahmi mengatakan Aisyiyah bukan hanya sekadar organisasi perempuan yang bergerak untuk kepentingan kaumnya, tetapi juga menyasar ke berbagai bidang seperti pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi.

Namun, salah satu kendala yang masih dihadapi perempuan agar memiliki peran yang lebih tinggi di masyarakat adalah masih adanya sistem sosial yang membuat perempuan terkooptasi kaum laki-laki.

"Kaum perempuan telah mendapatkan pemahaman tentang pemberdayaan perempuan, tetapi kaum laki-laki tidak mendapatkan pengertian yang sama, sehingga pemberdayaan perempuan kembali terhambat," katanya.

Kondisi tersebut, menurut dia juga terjadi di internal organisasi Muhammadiyah seperti yang tercermin dari hasil pemilihan calon anggota PP Muhammadiyah, yaitu tidak adanya keterwakilan perempuan.

"Persyarikatan Muhammadiyah belum memiliki pemahaman tentang peran Aisyiyah. Oleh karena itu, pemahaman tentang pemberdayaan perempuan juga harus diberikan kepada kaum laki-laki agar mereka mengerti," katanya.

Politik sesaat

Selain mengenai kesetaraan laki-laki dan perempuan yang menjadi isu hangat di kalangan peserta muktamar (muktamirin), pada hari kedua Muktamar ke-46 di Yogyakarta, Minggu, kepentingan politik sesaat terkait dengan persyarikatan ini juga diperbincangkan.

Artinya, di kalangan pengurus pimpinan pusat selalu mengingatkan kepada warga Muhammadiyah agar jangan sampai terlena dengan kepentingan politik sesaat.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Rosyad Sholeh mengingatkan kepada keluarga besar persyarikatan ini jangan sampai terlena dengan kepentingan politik sesaat, kemudian beramai-ramai meninggalkan Muhammadiyah.

"Diharapkan keluarga besar Muhammadiyah tidak terlena dengan kepentingan politik sesaat, sehingga meninggalkan persyarikatan," katanya ketika menyampaikan laporan dalam sidang pleno Muktamar ke-46 Muhammadiyah.

Menurut dia , hal itu disampaikan berkenaan dengan tarikan dan godaan politik praktis seperti melalui parpol, pilkada, serta tawaran menjadi caleg.

Akibatnya sebagian pimpinan Muhammadiyah dan organisasi otonomi berpindah haluan serta berperan ganda dan jabatan, baik di struktur persyarikatan, dan di parpol, atau menjadi caleg maupun menjadi calon yang berminat dalam pilkada.

Selain itu, kata dia, keluarga besar Muhammadiyah juga tidak boleh tinggal diam dalam menghadapi krisis visi serta karakter bangsa.

Sikap proaktif ke luar dan korektif ke dalam perlu diambil, karena Muhammadiyah bukan saja terkena imbas dan dampak negatif dari krisis bangsa, tetapi juga lebih dari itu sebagai panggilan sejarah yang menjadi perhatian keberadaan ormas Islam di negeri ini.

"Muhammadiyah sesuai khittahnya tetap menjaga jarak dengan parpol dan tidak berafiliasi dengan salah satu partai mana pun," katanya.

Ia mengatakan berdasarkan khittah perjuangan (1971 dan 1978), dan khittah Denpasar (2002), Muhamadiyah mempersilakan kader dan anggotanya menyalurkan kepentingan politik sesuai aspirasinya masing-masing, dengan ketentuan harus menaati aturan main yang telah ditentukan.

Terkait dengan godaan politik yang menguat tersebut, kata Rosyad Sholeh, PP Muhammadiyah telah mengeluarkan kebijakan resmi bagi seluruh pimpinan dan anggota, termasuk yang berkecimpung di amal usaha Muhammadiyah.

Lima negara

Rosyad Sholeh dalam laporannya pada sidang pleno muktamar juga menyebutkan Muhamadiyah di luar negeri memiliki organisasi "saudara" dengan menggunakan nama Muhammadiyah di lima negara anggota ASEAN.

"Dalam periode 2005-2010, Muhammadiyah mengalami perkembangan yang menggembirakan di bidang pengembangan organisasi, baik di dalam negeri maupun luar negeri," katanya.

Ia mengatakan di luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Laos, dan Kamboja, telah berdiri organisasi "saudara" dengan menggunakan nama Muhammadiyah.

Organisasi itu, menurut dia, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan persyarikatan Muhammadiya, tetapi memiliki kesamaan tujuan, dasar, dan prinsip perjuangan.

"Kenyataan ini semakin membuktikan bahwa gerakan dakwah Muhammadiyah telah diterima secara luas oleh berbagai kalangan dan lapisan masyarakat," katanya.

Sedangkan di dalam negeri, dia mengatakan pemekaran provinsi maupunkabupaten/kota memberikan hikmah tersendiri, dan ikut memotivasi berdirinya beberapa wilayah dan daerah baru.

Dalam periode 2005-2010 telah disahkan berdirinya dua wilayah Muhammadiyah baru, yaitu Sulawesi Barat, dan wilayah Papua Barat.

Dengan bertambahnya wilayah itu, kata dia maka jumlah wilayah sekarang menjadi 33, sedangkan jumlah daerah sebanyak 419.

Dinamika Muhammadiyah di tingkat nasional maupun global, menurut dia juga cukup positif, ditandai sejumlah prakarsa dan kegiatan kerja sama, sehingga ormas Islam ini mampu berkiprah lebih signifikan dalam kehidupan nasional dan global.

Perkembangan organisasi juga ditandai dengan pembentukan cabang istimewa Muhammadiyah (CIM) di luar negeri.

Saat ini telah terbentuk 13 buah CIM, yaitu di CIM Kairo, CIM Iran, CIM Sudan, CIM Belanda, CIM Jerman, CIM Inggris, CIM Lybia, CIM Kuala Lumpur, CIM Jepang, CIM Pakistan. dan CIM Australia.

Revitalisasi

Sementara itu, Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) menilai PP Muhammadiyah perlu menyusun program-program yang berkaitan dengan upaya revitalisasi pimpinan wilayah dan pimpinan cabang.

"Pimpinan Pusat Muhammadiyah sudah saatnya merevitalisasi Pmpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) maupun Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM)yang banyak tersebar di seluruh pelosok Indonesia," kata Sekretaris Panitia Pusat Muktamar IPM Iki Stabah Pujiana, di Yogyakarta, Minggu.

Menurut dia, revitalisasi ini harus bisa sampai ke tingkat ranting, sehingga

program terpadu yang disusun PP Muhammadiyah dapat tersosialisasikan dengan arahan yang jelas.

"Masalah ini penting, karena sesungguhnya pelaksanaan dakwah Muhammadiyah berada di tingkat bawah," katanya.

Ia mengatakan nama Muhammadiyah gaungnya jangan hanya di tingkat nasional, tetapi juga harus sampai ke daerah-daerah sesuai dengan pelaksanaan dakwah Muhammadiyah.

"Selama ini memang usaha ke arah itu sudah nampak, hanya saja belum maksimal," katanya.

Iki mengatakan sekarang banyak muncul kaum intelektual muda Muhammadiyah dengan segala pemikiran-pemikiran mereka yang maju, namun tidak bisa tertampung di Muhammadiyah.

"Pemikiran kader muda Muhammadiyah tersebut sebagian mungkin dinilai kebablasan dan dinilai mengarah ke Islam liberal, sehingga bertentangan dengan idelogi Muhammadiyah," katanya.

Ia mengharapkan PP Muhammadiyah ke depan bisa mengakomodir keberadan anak-anak muda seperti itu.

"Bukan hanya sekadar mengatakan tidak cocok, tetapi seharusnya terjadi proses dialog yang lebih konstruktif," katanya.

Haji

Pada sidang pleno muktamar ini, penyelenggaraan ibadah haji juga dikritisi. Seperti dikatakan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Rosyad Sholeh, penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional dan menjadi tanggung jawab pemerintah, namun pelaksanaannya belum mengalami perubahan.

Di hadapan ratusan muktamirin, ia mengatakan penyelenggaraan ibadah haji senantiasa mendapat perhatian penuh dari pemerintah dan masyarakat.

"Namun, dalam kurun waktu cukup lama belum mengalami perubahan sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji," katanya.

Ternyata, kata dia, penyelenggaraan ibadah haji belum mengalami perubahan yang mendasar, dan belum dilakukan perbaikan menyeluruh.

Oleh karena itu, PP Muhammadiyah menyetujui adanya undang-undang (UU) tentang perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 1999, kemudian diubah dengan UUNomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.

Sikap ini, menurut dia diambil dengan pertimbangan bahwa penyelenggaraan ibadah haji yang didasarkan pada uudang-undang tersebut belum memberikan ruang yang cukup bagi partisipasi masyarakat, khususnya umat Islam.

"Disamping itu, UU itu juga tidak memisahkan secara tegas antara regulator dan operator yang selama ini kedua-duanya dijalankan pemerintah," katanya.

Dalam kaitan ini, kata dia, pimpinan Muhammadiyah telah menyampaikan pikiran yang esensinya bahwa hendaknya ada jaminan dan penyempurnaan, serta bisa menutup sekecil mungkin tindak penyelewengan dalam penyelenggaraan ibadah haji.

Bahkan, menurut dia, Muhammadiyah menginginkan penyelenggaraan ibadah haji hendaknya bebas dari berbagai penyimpangan dan penyelewengan.

Prinsipnya, dapat mempermudah, memperlancar dan menghilangkan penyimpangan, dan salah urus.

Ia berharap institusi yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan ibadah haji hendaknya independen dan dapat dikontrol publik, terutama yang berkepentingan dengan ibadah haji.

"Institusi yang menyelenggarakan ibadah haji hendaknya bersifat profesional dan regulative (menjalankan fungsi-funsgi secara tersistem dan berjalan sebagai roda organisasi yang efektif-efisien-fungsional), dan yang paling utama pelayanan optimal dan memiliki akuntabilitas yang tinggi, katanya.

Ia pun mengakui sejak 28 April 2008 UU Haji Nomor 17 Tahun 1999 telah resmi diganti dengan UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah haji.

Namun, jika dicermati, ada beberapa hal penting yang perlu mendapat perhatian. Yaitu, manajemen Pengelolaan Biaya Penyelenggaraan Ibadah haji (BPIH), Manajemen Dana Abadi Umat (DAU) dan adanya badan baru yang akan mengawasi pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji, yaitu Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI).

Ia berharap semua itu hendaknya dapat dilaksanakan dengan baik, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Tugas KPHI diharapkan dapat melaksanakan funsgi-fungsinya dengan baik. (*)

E013*V001*B015*A025*/M008

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010