Tokyo (ANTARA News) - Jepang baru-baru ini boleh saja mencatat rekor dunia untuk penggunaan jejaring sosial "twitter" per detik, namun ketika berbicara masalah pemilihan nasional, para politisi negara itu masih terbatas pada penggunaan megafon abad ke-20 dan membagikan pamflet.

Penggunaan laman "micro-blogging" seperti twitter atau bahkan surat elektronik untuk kampanye dilarang di Jepang, sehingga kandidat pemilihan umum majelis tinggi, Minggu, harus menggunakan pengeras suara kuno dan berisik serta berkeliaran di trotoar guna menjangkau para pemilih.

Penggunaan internet oleh Presiden AS Barack Obama membantunya mencapai Gedung Putih tapi anggota parlemen di Jepang bersikap lebih lambat untuk merangkul dunia maya, membiarkan banyak pemilih muda merasa terputus dari proses politik.

Para kandidat dibatasi oleh peraturan yang melarang mereka dari berkirim pesan di dunia maya --atau "bergumam" dalam terjemahan Jepang-- pada twitter, blog, atau berbagi kebijakan melalui surat elektronik atau menayangkan video dalam jaringan selama kampanye.

"Tanpa internet, kami tidak dapat menyampaikan pesan kami kepada para pemilih," kata Mito Kakizawa, seorang anggota parlemen dari pihak oposisi yang baru terbentuk, "Your Party".

"Internet adalah sebuah alat penting bagi partai-partai kecil seperti partai kita, yang tidak memiliki organisasi regional besar," kata Kakizawa, kata seorang mantan sukarelawan pada kampanye pemilihan presiden Obama di Amerika Serikat.

Ini merupakan skenario ironis bagi sebuah bangsa "kabel" yang bersemangat untuk teknologi baru dan memecahkan rekor 3.283 pesan melalui twitter per detik setelah tim sepak bola negaranya mengalahkan Denmark di Piala Dunia, menurut perhitungan twitter.

Jepang telah menjadi salah satu pasar terbesar dan tercepat yang terus tumbuh sejak peluncuran domestik pada tahun 2008, dengan proporsi pengguna Internet yang berkirim pesan melalui twitter melebihi Amerika Serikat awal tahun ini, menurut NetRatings Jepang.

Perusahaan penelitian mengatakan bahwa jumlah pengguna twitter di Jepang meningkat hampir 20 kali dalam waktu setahun, dari 496.000 Mei 2009 menjadi 9.157.000 dua belas bulan kemudian.

Ada yang menyebutkan bahwa popularitas itu dikarenakan batas jumlah 140 karakter yang diijinkan per pesan lebih sesui dalam huruf Jepang daripada dalam huruf tradisional barat, layak untuk rumah dari puisi tiga baris, haiku.

"Twitter adalah sebuah alat penting yang harus digunakan untuk mengirim pesan politik," kata Kiyoshi Abe, profesor sosiologi di Universitas Kwansei Gakuin.

Meskipun ada pembatasan, "itu akan mempertahankan posisinya di

komunitas dunia maya Jepang."

Kritik mengatakan kegagalan untuk mereformasi pembatasan adalah hilangnya peluang besar bagi proses pemilihan.

"Politisi gaya lama ketakutan pada internet," kata Ichita Yamamoto, dari oposisi utama Partai Demokrat Liberal. "Mereka takut bahwa penggunaan berbagai alat-alat baru akan mengakibatkan merugikan bagi mereka. "

Namun di luar pemilihan, layanan (dunia maya) itu telah memenangkan popularitas di kalangan politisi, termasuk mantan perdana menteri Yukio Hatoyama, yang telah mengumpulkan lebih dari 672.000 pengikut ketika dia membuka akun pribadi di Januari.

Hatoyama yang dikenal dengan julukan "alien" telah berkirim pesan selama menjabat dan beralih ke jam layanan setelah mengundurkan diri sebagai pemimpin partai yang berkuasa, Partai Demokrat Jepang, mengatakan dia sekarang bisa "bergumam" dengan kebebasan.

Partainya mula-mula berjanji untuk memperbaiki hukum kampanye tetapi upaya untuk melakukan itu kandas di tengah pergolakan politik yang diikuti dengan pengunduran Hatoyama, Juni.

Para ahli mengatakan parlemen Jepang harus meningkatkan usaha untuk menghapus pembatasan penggunaan dunia maya untuk pemilihan umum di masa depan.

"Politik tidak dapat menjadi perkecualian di era internet," kata Tsutomu Kanayama, profesor komunikasi massa di Universitas Ritsumeikan di Kyoto.

"Politik Jepang harus diperbolehkan untuk melanjutkan jalannya dari analog ke digital."
(Uu.AFP/G003/M043/B002/P003)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010