Surabaya (ANTARA News) - Pakar hukum pers, Wina Armada Sukardi, menilai kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia yang akan menyensor tayangan televisi berpotensi menjadi bumerang bagi lembaga itu.

"Tugas KPI itu bukan untuk menyensor dan memidanakan wartawan," katanya saat ditemui di sebuah hotel berbintang di kawasan Jalan Gubernur Suryo, Surabaya, Jumat.

Kalau KPI sampai menyensor dan memidanakan wartawan, menurut dia, maka KPI telah melakukan pelanggaran terhadap Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

"Dalam menjalankan tugasnya, wartawan selalu tunduk pada Undang Undang 40/1999 dan Kode Etik Jurnalistik. Beda dengan KPI yang mengacu pada Undang Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran," kata mantan sekretaris jenderal (sesjen) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat itu.

Bahkan, organisasi wartawan saat ini sedang mengajukan "judicial review" kepada Mahkamah Agung atas beberapa kewenangan KPI yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 itu.

"Dan, kalau sampai KPI melakukan penyensoran, berarti pemberangusan terhadap pers seperti yang pernah terjadi pada masa Orde Baru akan terulang," kata Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers itu.

Saat ini, lanjut Wina, sedang ada pemikiran di kalangan organisasi profesi jurnalis untuk melaporkan KPI terkait kebijakan penyensoran itu.

Pernyataan penolakan terhadap penyensoran juga dilontarkan Presiden Direktur Trans TV, Ishadi SK. "Nanti kewenangan KPI akan berbenturan dengan Dewan Pers. KPI memidanakan, sedangkan Dewan Pers membela wartawan," katanya.

Ia menyatakan bahwa boleh-boleh saja KPI memberikan sanksi kepada media televisi, asalkan prosedural dan proporsional. "Jangan sampai keputusan KPI malah diabaikan," kata staf pengajar Program Magister Komunikasi Universitas Airlangga Surabaya itu.

Terkait penyensoran tayangan "infotainment", Ishadi mengaku tidak keberatan, terlebih yang mengandung unsur pornografi dan melanggar Kode Etik Jurnalistik.

Meskipun demikian, dia juga memaparkan latar belakang maraknya tayangan infotainment di televisi belakangan ini. Infotainment itu bagaikan emas bagi pengelola televisi," katanya.

Menurut dia, biaya produksi tayangan infotainment sangat rendah, sedangkan pendapatan dari pemasukan iklan relatif besar seiring dengan tingginya rating.

"Bayangkan, berapa besar biaya mendatangkan artis ke studio. Akan tetapi, di infotainment artis yang mengundang. Nah, di sinilah infotainment itu menjadi pundi-pundi bagi pengelola televisi," kata mantan Direktur TVRI dan Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film (RTF) di masa Orde Baru itu.
(M038/B013)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010