Bogor (ANTARA News) - Model iklim di Indonesia masih terlalu sederhana dan akurasinya kurang tajam sehingga harus diperbaiki dengan memanfaatkan data laut dalam, terutama dari Laut Halmahera, kata seorang peneliti.

"Laut Halmahera memiliki struktur arus yang sangat kompleks. Ini penting untuk memperbaiki model iklim dan menajamkan akurasi prediksi cuaca di masa mendatang," kata peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Agus Atmadipoera di Bogor, Kamis.

Laut Halmahera merupakan salah satu titik di jalur arus lintas Indonesia (Arlindo) di mana air hangat dari Samudera Pasifik bertemu dengan air tawar dari Samudera Hindia.

Percampuran air hangat dan tawar ini akan mengubah karakter suhu dan salinitas air laut, yang memengaruhi iklim dan terkait erat dengan kemunculan fenomena khusus seperti El Nino.

Agus mengungkapkan hal tersebut merupakan salah satu hasil sementara riset kelautan yang dilakukan oleh peneliti Indonesia bekerja sama dengan peneliti Prancis di arus lintas Indonesia.

Riset diawali dengan Pelayaran Indomix 2010 sejak 9 hingga 20 Juli 2010 untuk mendapatkan sampel, dan dilanjutkan dengan kajian hasil riset selama tiga tahun hingga 2013.

Tim peneliti Indonesia dan Prancis melintasi sejumlah perairan di Halmahera, Seram, banda, Ombai, Sumba dan berakhir di Surabaya dengan menggunakan kapal riset Marion Dufresne milik Paul Emile Victor (IPEV) Prancis.

Saat ini, lanjut dia, prediksi kondisi iklim di Indonesia hanya menggunakan data atmosfer dari satelit, oleh karena itu perlu ditambah dengan data dari laut dalam.

Sementara itu, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Prof Dr Indra Jaya mengatakan, riset kolaborasi Indonesia-Prancis ini bertujuan memperbaiki prediksi dan prakiraan iklim melalui data laut dalam.

"Informasi yang lebih akurat sebenarnya bisa diperoleh dari pengukuran laut dalam, baik suhu, kadar garam maupun kecepatan arusnya," katanya.

Riset juga dilakukan untuk memperbaiki prediksi El Nino serta memahami proses fisik yang mempengaruhi karakteristiknya.

Dalam riset ini, para peneliti juga menempatkan Bottom ADCP mooring di kedalaman 700 meter untuk menghitung kecepatan arus dan debit air yang lewat. Alat tersebut akan terpasang dan mengumpulkan data selama dua tahun.

Berdasar kajian terakhir, setiap detik Arlindo mengalirkan 15 juta meter kubik air hangat dan tawar dari Pasifik Selatan menuju Hindia Timur.

Hasil sementara lain yang diperoleh dari riset tersebut adalah sampel organisme yang diambil dari lintasan Arlindo tersebut tergolong kuat. Artinya wilayah tersebut termasuk perairan yang subur.

Periode La Nina
Sementara itu, terkait kondisi cuaca saat ini, Agus mengatakan cuaca di Indonesia masih dipengaruhi oleh La Nina yang sudah terdeteksi sejak dua atau tiga bulan lalu.

"Sekarang kita masih masuk periode La Nina. Perbedaan tekanan yang kuat antara Pasifik Barat di Tahiti dengan Pasifik Timur di Darwin menyebabkan penumpukan awan di atas wilayah Papua," katanya.

Meski demikian, ia tidak bisa memastikan kapan berakhirnya fenomena La Nina tersebut. "La Nina tidak selalu diikuti dengan El Nino," imbuhnya.

Agus mengatakan, hasil riset kelautan yang dilakukan bersama tim peneliti Prancis akan digunakan untuk membuat model prediksi iklim dan ekologi.

"Analisa data diperkirakan selesai selama satu tahun. Setelah itu dilanjutkan dengan pembuatan model prediksi iklim dam ekologi," katanya.

Selain peneliti IPB, riset tersebut juga melibatkan peneliti dari LIPI, Badan Pengkajian dan penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dinas Hidroo-Oseanografi TNI AL, ITB, Unpad, Universitas Papua, Universitas Khairun, Universitas Sam Ratulangi dan Universitas Bengkulu.(S022/N002)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010