Jakarta (ANTARA News) - Mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra, menilai penyebab sulitnya memutus mata rantai terorisme adalah sikap `tak mau tahu` atau apatis.

Hal ini diungkapkannya dalam salah satu sesi diskusi memutus mata rantai radikalisme dan terorisme di Jakarta, Selasa.

Dalam sesi diskusi itu, ia menegaskan bahwa pemerintah pada dasarnya mengetahui berbagai cara untuk memutus mata rantai terorisme, namun belum ada upaya yang sungguh-sungguh.

"Jadi bukan karena ketidaktahuan, yang ada adalah tidak mau tahu," katanya.

Ia mengatakan, selama ini yang bergerak untuk memberangus terorisme terutama pihak kepolisian dengan Detasemen Khusus (Densus) 88. Sementara pihak-pihak lain dalam pemerintahan yang harusnya mendukung upaya menangkal terorisme tidak ikut bergerak.

Ia pun mencontohkan, seorang teroris yang ditangkap namun keluarganya diabaikan oleh negara. Hal ini, menurut dia, membuat besar kemungkinan para teroris akan kembali ke habitatnya.

"Harusnya Kementerian Sosial bertindak, Kementerian Tenaga Kerja bertindak menampung mereka, begitupula Kementerian Pendidikan Nasional bertindak untuk menyekolahkan anak mereka. Para aparat pemerintah ini tahu. Kalau cuma ditangkap saja oleh Densus 88 ya, balik lagi," katanya.

Jadi menurut dia, sampai saat ini tidak ada koordinasi yang baik antar instansi pemerintah dalam menangani terorisme. "Masing-masing instansi tidak mau tahu soal itu meski tahu," katanya.

Menurut dia, gejala terorisme di Indonesia sulit untuk dijelaskan karena rezim politik di Indonesia bersahabat dengan pandangan keagamaan terutama Islam.

"Apalagi semenjak reformasi," katanya.

Ia menilai, Islam yang ada di Indonesia lebih memiliki watak yang damai. Ia mencontohkan gerakan Islam Muhammadiyah.

Muhammadiyah, menurut dia, meski lahir dari gerakan salafiyah yang ingin memurnikan Islam, namun perilakunya tidaklah mendorong pada sikap kekerasan.

Berbeda dengan gerakan Wahabiah di Timur Tengah yang menggunakan kekerasan dalam memurnikan Islam. "Di sana waktu itu kalau dianggap bid`ah, tahayul dan kurafat langsung ditebas. Muhammadiyah lain, mereka mendirikan sekolah dan rumah sakit," katanya.

Hal itu, menurut dia, menunjukan Indonesia sebenarnya memiliki sumber daya sosial untuk menangkal teroris.

Sementara itu, sebelumnya Menteri Pendidikan Nasional M Nuh mengakui sektor pendidikan juga dapat berperan dalam menangkal tumbuhnya terorisme.

Untuk itu, pihaknya tengah berusaha agar pelajaran yang menyangkut nilai moral dan agama dapat mengajarkan prinsip-prinsip toleransi dan perdamaian yang mampu diresapi dan menjadi budaya bagi masyarakat Indonesia.

Sedangkan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Komisaris Jenderal Polisi Ito Sumardi, meminta agar masyarakat juga berperan aktif dalam memutus mata rantai terorisme.

"Masyarakat kita harap jangan diam, tidak mau tahu, padahal mereka tahu, ini juga penting bagi kita," katanya. (M041/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010