Jakarta (ANTARA News) - Peneliti senior dari Lembaga Survei Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, menilai untuk meningkatkan kinerja anggota DPR perlu ada perubahan tata tertib DPR tentang izin tak hadiri rapat, khususnya mengenai sanksi bagi anggota dewan.

"Tatib DPR dan kode etik DPR yang ada saat ini masih longgar, sehingga perlu diubah dengan memberatkan sanksi dan perlunya publikasi bagi anggota DPR yang malas dan suka bolos kerja," katanya kepada ANTARA News, di Jakarta, Senin.

Menurut dia, tatib dan kode etik DPR seringkali dimanfaatkan oleh oknum anggota DPR yang malas bekerja karena rendahnya sanksi yang diberikan.

Dalam peraturan dewan No 1 Tahun 2010 tentang tata tertib DPR, menyebutkan anggota DPR baru kena teguran bila tidak masuk selama enam kali berturut-turut.

"Mereka (anggota DPR-red) bisa mensiasatinya dengan tidak masuk secara selang seling. Ini menunjukan tatib yang dibuat oleh anggota DPR tidak sepenuhnya berkomitmen untuk bekerja dengan baik sebagai wakil rakyat," kata Burhan sapaan Burhanuddin Muhtadi.

Ia mengungkapkan, kinerja anggota DPR yang malas dan suka bolos kerja membuat target rancangan undang-undang (RUU) pada tahun 2010 ini tidak akan tercapai.

"Dari 70 RUU yang akan disahkan menjadi UU pada 2010 ini, hanya 7 RUU atau 10 persen yang sudah disahkan menjadi UU. Hal ini menunjukan anggota DPR malas bekerja. Apakah target 70 RUU bisa dikejar pada 2010 ini," katanya mempertanyakan.

Burhan mengakui tingkat kehadiran anggota DPR tidak menjadi tolok ukur kinerja anggota dewan, namun menjadi indikator awal pembahasan-pembahasan budgeting, legislasi dan kontrol di panja dan sidang komisi tidak sepenuhnya matang.

"Kalau anggota DPR-nya jarang masuk kerja, bagaimana bisa membuat UU secara matang. Pasti ada kekurangannya," katanya.

Oleh karena itu, lanjut dia, perlu adanya perubahan tatib DPR yang mengatur tentang pemberian sanksi yang berat dan publikasi di media massa bagi anggota DPR yang malas dan suka bolos kerja.

"Kalau dipublikasikan selama sebulan sekali bagi anggota DPR yang malas, maka secara tidak langsung ketua fraksi dan pimpinan parpolnya akan menginstruksikan anggotanya untuk tidak malas bekerja. Ini akan menjadi sanksi sosial," ucapnya.

Hal itu, tambah dia, terjadi saat banyaknya anggota DPR dari beberapa parpol yang belum menyerahkan laporan kekayaannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada beberapa waktu lalu.

"Setelah di ekspose di media massa, masing-masing pimpinan parpol menginstruksikan anggotanya untuk segera menyerahkan laporan kekayaannya kepada KPK," demikian Burhan.
(ANT/P003)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010