Sanaa (ANTARA News/Reuters) - Presiden Yaman dan pemimpin gerilyawan Syiah hari Rabu saling menyalahkan masing-masing pihak atas pelanggaran gencatan senjata yang dicapai pada Februari.

"Kami tetap menekankan proses perdamaian dan tidak akan terseret ke dalam perang ketujuh," kata Presiden Ali Abdullah Saleh kepada wartawan.

Pemimpin kelompok gerilya Syiah Abdel Malek al-Huthi mengatakan kepada penerbitan Al-Haqiqa bahwa perundingan dengan pemerintah mencapai tahap kemajuan, namun pemerintah masih tidak memenuhi kewajibannya dalam gencatan senjata.

"Contoh paling jelas dari ini adalah banyaknya tahanan (gerilyawan) yang seharusnya telah dibebaskan sesuai dengan sejumlah kesepakatan," katanya.

Saleh mengatakan, pemerintahnya melakukan segala upaya untuk melaksanakan janji dalam kesepakatan gencatan senjata.

Gerilyawan Syiah tersebut dan pasukan pemerintah terlibat dalam pertempuran mematikan selama sembilan hari pada Juli, yang merusak gencatan senjata rapuh yang dicapai pada Februari yang mengakhiri babak perang enam bulan.

Gencatan senjata antara pasukan pemerintah dan gerilyawan Syiah Huthi yang mulai berlaku 12 Februari merupakan upaya terakhir pemerintah untuk mengakhiri kekerasan bersenjata di wilayah utara yang telah menewaskan ribuan orang dan mengakibatkan 250.000 orang mengungsi.

Kelompok gerilya Zaidi atau Huthi, nama almarhum pemimpin mereka, berpangkalan di daerah pegunungan di perbatasan Arab Saudi, dimana mereka terlibat dalam pertempuran dengan pasukan Yaman dan Saudi.

Pasukan pemerintah terlibat dalam pertempuran sporadis dengan kelompok Syiah itu sejak 2004.

Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990 namun banyak pihak di wilayah selatan, yang menjadi tempat sebagian besar minyak Yaman, mengatakan bahwa orang utara menggunakan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam dan mendiskriminasi mereka.

Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh telah mendesak rakyat Yaman tidak mendengarkan seruan-seruan pemisahan diri, yang katanya sama dengan pengkhianatan.

Negara-negara Barat dan Arab Saudi, tetangga Yaman, khawatir negara itu akan gagal dan Al-Qaeda memanfaatkan kekacauan yang terjadi untuk memperkuat cengkeraman mereka di negara Arab miskin itu dan mengubahnya menjadi tempat peluncuran untuk serangan-serangan lebih lanjut.

Yaman menjadi sorotan dunia ketika sayap regional Al-Qaeda AQAP menyatakan mendalangi serangan bom gagal terhadap pesawat penumpang AS pada Hari Natal.

AQAP menyatakan pada akhir Desember, mereka memberi tersangka warga Nigeria "alat yang secara teknis canggih" dan mengatakan kepada orang-orang AS bahwa serangan lebih lanjut akan dilakukan.

Para analis khawatir bahwa Yaman akan runtuh akibat pemberontakan Syiah di wilayah utara, gerakan separatis di wilayah selatan dan serangan-serangan Al-Qaeda. Negara miskin itu berbatasan dengan Arab Saudi, negara pengekspor minyak terbesar dunia.

Sanaa menyatakan, pasukan Yaman membunuh puluhan anggota Al-Qaeda dalam dua serangan pada Desember.

Kedutaan Besar Inggris di Sanaa juga menjadi sasaran rencana serangan bunuh diri Al-Qaeda yang digagalkan aparat keamanan Yaman pada pertengahan Desember.

Sebuah sel Al-Qaeda yang dihancurkan di Arhab, 35 kilometer sebelah utara ibukota Yaman tersebut, "bertujuan menyusup dan meledakkan sasaran-sasaran yang mencakup Kedutaan Besar Inggris, kepentingan asing dan bangunan pemerintah", menurut sebuah pernyataan yang dipasang di situs 26Sep.net surat kabar kementerian pertahanan.

Selain separatisme, Yaman juga dilanda penculikan warga asing dalam beberapa tahun ini. (M014/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010