Jakarta (ANTARA News) - Usulan rakornas PDIP yang menghendaki wakil parpol dapat menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum itu berpotensi melanggar UUD 1945 karena pemilu harus diselenggarakan oleh lembaga mandiri tanpa ada kepentingan politik, kata Peneliti senior Lembaga Survei Indonesia Burhanuddin Muhtadi.

"Prinsip kemandirian tersebut harus tercermin dari personel anggota KPU yang bebas dari kepentingan politik praktis. Oleh karenanya, wacana mayoritas fraksi di DPR agar wakil parpol dapat masuk KPU dianggap sebagai langkah mundur," katanya di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, prinsip kemandirian, independensi, dan imparsialitas tidak boleh diganggu gugat, sehingga jika anggota parpol jadi komisioner KPU, maka parpol dapat menitipkan kepentingannya ke penyelenggara pemilu.

Burhanuddin mengatakan, secara kasat mata, Pemilu 1999 tampaknya berjalan demokratis dan baik serta minim pelanggaran, namun di dalam tubuh KPU sendiri banyak sekali tarik-menarik kepentingan antaranggota dari parpol.

Berdasarkan fakta, antaranggota KPU kala itu sering terjadi perdebatan sengit, bahkan kerap terjadi "deadlock".

"Ini karena para penyelenggara pemilu adalah kader parpol yang mementingkan kepentingan politik masing-masing. Bahkan saat itu KPU yg diisi wakil parpol tak mau menandatangani hasil pemilu. Untung presiden habibie mau tanda tangan, sehingga legalitas hasil pemilu bisa dipertanggungjawabkan," katanya.

Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Nasional (Unas), Jakarta Alfan Alfian, menilai, anggota Komisi Pemilihan Umum lebih baik berasal dari kalangan independen karena akan terjadi banyak kepentingan bila anggota partai politik terlibat sebagai penyelenggara pemilu.

"Kalau anggota KPU dari parpol, maka akan terjadi kemunduran. Pada 1999 anggota KPU dari kalangan parpol, namun banyak kepentingan yang terjadi," katanya menanggapi wacana tentang KPU harus kembali melibatkan unsur partai politik dalam Rakornas PDI Perjuangan.

Ia menjelaskan, banyak permasalahan yang terjadi saat unsur parpol terlibat dalam KPU pada pelaksanaan Pemilu 1999, antara lain anggota KPU sempat memboikot dengan tidak mau menandatangani pengesahan pemilu, meski akhirnya masalah itu bisa diatasi.

"Belajar dari pengalaman tersebut, jika unsur parpol terlibat dalam KPU maka akan lebih banyak `mudharatnya` dibandingkan manfaatnya. Karena akan lebih banyak kepentingan-kepentingan parpolnya," katanya.

Oleh karena itu, lanjut Alfan, alangkah baiknya anggota KPU berasal dari kalangan independen yang tidak memiliki kepentingan.

Ia mengatakan, adanya kasus yang menimpa Ketua KPU Nazaruddin Syamsuddin periode 2004 tentang dugaan korupsi bukan menjadi dalih bahwa anggota KPU harus dikembalikan lagi kepada unsur parpol.

"Kalau ini sampai terjadi, maka sistem demokrasi kita akan terjadi kemunduran," katanya.

Di samping itu, wacana yang dilontarkan oleh PDIP itu juga belum tentu disetujui oleh anggota parlemen yang lain, melihat pengalaman sebelumnya.

Sebelumnya, Sekjen DPP PDIP Tjahjo Kumolo mengatakan, Rakornas memandang bahwa KPU harus kembali melibatkan unsur partai politik seperti halnya pada Pemilu 1999.

Keterlibatan parpol tersebut, akan berjalan dengan mekanisme saling kontrol di dalam lembaga, untuk menghindari kecurangan dan pemanfaatan KPU untuk kepentingan politik tertentu. (ANT/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010