Oleh Askan Krisna Jakarta (ANTARA News) - Serangan pesawat-pesawat tempur Israel pada Jumat (2/1) masih terus berlanjut di Gaza, sedangkan para pejuang Palestina menembakkan roket-roketnya terhadap pelabuhan laut negara Yahudi itu, Ashkelon.   Sementara itu, di banyak ibukota negara, termasuk Jakarta, aksi demo yang diikuti ribuan orang melimpah mengutuk dan menuntut serangan yang dianggap Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak sepadan itu segera dihentikan. Laporan-laporan kantor berita internasional menunjukkan, hari itu militer Israel tersebut menjatuhkan bom ke puluhan target, menewaskan penduduk sipil Palestina, menjadikan jumlah korban serangan yang dimulai sejak sepekan terakhir ini mencapai 414 orang, dan ribuan lainnya cedera. Angan-angan, gagasan dan harapan masyarakat internasional atas segera dicapainya gencatan senjata, untuk menghentikan serangan-serangan di luar batas kemanusiaan itu, tak terwujud karena para petinggi Tel Aviv justru terus melemparkan ancaman-ancaman serangan. Di antara tempat yang dijadikan sasaran serangan udara Israel termasuk kendaraan yang digunakan untuk mengangkut rudal anti-pesawat terbang Palestina, peluncur-peluncur roket, terowongan yang dicurigai digunakan untuk penyelundupan senjata. Pada hari sebelumnya, mereka membomi kompleks pusat pemerintahan Hamas, kementerian kehakiman, gedung parlemen, terowongan-terowongan, gudang senjata dan bahkan mesjid, yang mereka tuduh sebagai `sarang teroris.` Perdana Menteri Israel Ehud Olmert, bahkan telah menyiagakan ribuan tentaranya untuk melakukan serangan darat, dengan dukungan serangan udara. Tank-tank dan senjata berat mereka telah disiagakan mengepung Gaza dan tinggal menunggu perintah. Seorang tokoh terkemuka Hamas, Kamis (1/1) tewas. Hal itu dianggap pukulan terbesar dalam kepimpinan kelompok tersebut. Serangan ini terjadi pada saat lusinan serangan udara terhadap Gaza pada hari keenam menewaskan sedikitnya 420 orang. Dilaporkan, pesawat-pesawat tempur Israel dan angkatan lautnya melakukan lebih dari 50 serangan baru terhadap Gaza. Dua jet tempur Israel menembakkan rudal ke rumah Nizar Rayan, di kamp pengungsi Jabaliya, menewaskan pimpinan parlemen garis-keras itu dan empat isterinya. Sepuluh anaknya dan dua orang tetangganya dilaporkan juga tewas. Rayan adalah tokoh paling senior yang tewas dalam serangan Israel, sejak Abdel Aziz al-Rantissi juga dibunuh tentara Zuinist pada 2004. Dialah ulama dan pemimpin politik garis keras Hamas yang menyerukan dibangkitkannya kembali serangan-serangan bom bunuhdiri terhadap Israel. Korban sipil Berdasarkan laporan PBB, dari jumlah korban sekarang, 25 persennya adalah penduduk sipil. Mereka adalah orang-orang tidak bersalah, perempuan dan anak-anak. Para pengamat menyatakan khawatir, pemimpin Israel melakukan serangan membabibuta atas wilayah Arab yang direbutnya pada Perang 1967, demi persaingan kekuasaan untuk merebut kursi perdana menteri pada pemilu 10 Februari. Survei-survei menurut mereka menunjukkan, ada indikasi bahwa serangan-serangan itu dilakukan untuk menggenjot dukungan untuk calon berhaluan tengah, Menhan Ehud Barak dan Menlu Tzipi Livni, untuk menghadapi pesaing terdepan, Benyamin Netanyahu, dari sayap kanan Partai Likud. Livni seusai berunding dengan Presiden Prancis, Nicolas Sarkozy, mengatakan bhwa operasi militer yang mereka lakukan tidak ada perubahan. Dia bahkan mengatakan, "Tidak ada krisis kemanusiaan di Jalur Gaza, dan Israel mengizinkan lalulintas obat-obatan, pangan serta pasokan-pasokan lain ke Gaza." Padahal, berbagai laporan badan bantuan internasional menyatakan, krisis kemanusiaan telah melanda rakyat Palestina. Mereka membutuhkan bantuan obat-obatan, pangan, dan lain-lain yang diperlukan 1,5 juta penduduk Gaza, yang diblokade Israel sejak enam bulan lalu. Ratusan rumah, menurut badan-badan bantuan, telah dihancurkan dan PBB mengatakan, sekitar 25 persen korban tewas adalah penduduk sipil. Pasokan makanan, bahan bakar dan obat-obatan sepenuhnya terkendala, kata badan-badan bantuan internasional. Berkali-kali pemimpin Israel mengeluarkan pernyataan yang kontradiktif. Perdana Menteri (PM) Israel, Ehud Olmert, misalnya, mengatakan bahwa Israel `tidak tertarik untuk melakukan perang lebih lama`,  namun ia juga menandaskan: "Kami akan menghadapi Hamas dan teror dengan tangan besi." Sebaliknya, Menlu Livni dalam pembicaraan dengan Presiden Nicolas Sarkozy di Paris, menolak usulan Prancis untuk gencatan senjata selama 48 jam, yang sebenarnya diperuntukkan bagi upaya-upaya bantuan kemanusiaan. Di PBB, Libya kemarin juga menyodorkan rancangan resolusi Liga Arab kepada Dewan Keamanan (DK) PBB, yang menyerukan segera dilakukannya gencatan senjata. Namun AS dan Inggris segera mencegatnya. Dalam wawancara dengan televisi Israel, Livni juga menegaskan, Israel akan terus melanjutkan serangan-serangannya terhadap Hamas di Jalur Gaza, sampai kelompok tersebut terkuras tenaganya dan para pejuang Palestina itu tak lagi menembakkan roket-roketnya ke wilayah Israel. Dia juga menyatakan, Israel tidak akan menunggu Hamas menyerah, dan masih banyak target yang akan dihantam. Sebaliknya, tokoh-tokoh Hamas berikrar tidak akan mundur sejengkalpun untuk mempertahankan tanahairnya. Mereka akan melindungi bangsanya sampai titik darah penghabisan. Dengan jelas, Israel tidak menghendaki gencatan senjata. Ini adalah pelanggaran hak asasi manusia paling mendasar. Hal yang agaknya patut disayangkan, ternyata para pendekar Hak Asasi Manusia (HAM), baik dari organisasi, pakar, maupun negara yang selama ini mengaku pembela HAM tampaknya tidak mampu banyak bersuara. Upaya gencatan senjata, bahkan tampaknya akan menemui kesulitan. (*)

Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2009