Surabaya (ANTARA News) - Wacana penghapusan disparitas harga elpiji (gas cair) berukuran tabung 3 kilogram dan 12 kilogram diyakini merupakan kebijakan panik pemerintah pusat seiring banyaknya kasus ledakan elpiji di sejumlah daerah.

"Menghapus disparitas harga elpiji, belum tentu menjamin tidak akan terjadi kasus kebocoran elpiji," kata Pengamat Kebijakan Publik Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria, di Surabaya, Sabtu.

Menurut dia, pemerintah seharusnya meneliti secara akurat penyebab dari 219 kasus ledakan gas yang terjadi sejak 2008 sampai Awal Agustus 2010r. Kasus tersebut mengakibatkan 26 orang meninggal dan 225 orang luka - luka.

"Sementara itu, wacana menghapus disparitas harga jual antara elpiji 3 kilogram dan 12 kilogram karena menengarai disparitas harga sebagai penyebab terjadinya perbuatan pidana pindah isi (dari tabung 3 kilogram ke tabung 12 kilogram) para pengoplos yang menyebabkan terjadinya kebocoran pada katup tabung 3 kilogram," ujarnya.

Ia menjelaskan, upaya menghapus disparitas harga dengan tanpa melakukan kajian yang empirik terhadap kasus dan program konversi minyak tanah ke elpiji berukuran tabung 3 kilogram adalah kebijakan yang kurang optimal.

"Tindakan pemerintah bagaikan menangkap ikan di sebuah danau dengan menguras seluruh air di danau," katanya.

Ia menilai, penghapusan disparitas harga dengan solusi memberi tambahan subsidi pada elpiji 3 kilogram berarti memberi tambahan subsidi kepada 50 juta kepala keluarga yang telah menggunakan elpiji tersebut. Padahal, kasus ledakan gas telah menimpa 219 orang atau 219 pemilik perangkat elpiji.

"Kalau solusi kasus ledakan ini adalah keputusan menaikkan harga elpiji 3 kilogram atau menurunkan harga elpiji 12 kilogram sehingga tidak ada disparitas, langkah pemerintah ini bisa dinyatakan sebagai kebijakan yang terburu-buru," katanya.

Ia menyarankan, pemerintah melakukan penelitian secara seksama terhadap seluruh kasus kebocoran gas yang terjadi. Apa benar kebocoran pada katup tabung karena kerusakan akibat tindakan pindah isi.

"Bisa saja karena adanya kebocoran terjadi pada regulator/selang atau pada koneksi di antara tabung dan kompor. Bahkan, dapat diselidiki apakah ada kebocoran gas akibat kelalaian pengguna. Jika penyebab ini sudah diketahui pemerintah bisa membuat solusi terbaik," katanya.

Selain itu, tambah dia, pemerintah perlu meneliti setiap kasus yang terjadi apakah ada hubungan kasus dengan wilayah yang padat rumah atau bangunan, kelayakan dapur, dan kelayakan rumah yang menggunakan elpiji.

"Upaya ini sekaligus memberi kepastian apakah kasus yang mengakibatkan banyak korban jiwa dan luka-luka dikarenakan tidak layaknya dapur yang ada sehingga sulit menyalurkan gas yang bocor ke udara terbuka. Akhirnya, terjadi akumulasi gas di dapur tersebut," katanya.

Pemerintah jua wajib memikirkan pemberian tabung sesuai keberadaan rumah masyarakat penerimanya, apakah terletak di daerah padat atau dapur mereka sempit dan sekaligus berfungsi sebagai ruang tidur. Solusi terhadap pengguna dengan rumah yang berhimpitan satu dan lainnya, bisa dibuatkan cerobong udara kepada mereka.

"Untuk tipe rumah seperti itu pemerintah harus melakukan survei langsung ke tiap rumah. Pemerintah juga seharusnya memberi bantuan kepada pengguna elpiji yang sudah diverifikasi keberadaannya, dengan acuan paling berpotensi mengalami masalah besar jika terjadi kebocoran gas pada rumah mereka," katanya.
(ANT071/I007)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010