Jakarta (ANTARA News) - Ketua DPP PDI Perjuangan bidang Pertahanan Keamanan dan Hubungan Internasional, Andreas Hugo Pareira, menyorot kritis usul tiga periode jabatan presiden, jangan-jangan ini hanyalah pengalihan perhatian atas isu utama publik.

"Jadi penilaian kami yang pertama, bahwa usul ini bisa saja dibuat dengan target pengalihan perhatian masyarakat dari masalah `megaskandal Bank Century`," tegasnya kepada ANTARA.

Sebab, menurutnya, selama ini, strategi pengalihan isu melalui wacana dan kasus-kasus sosial politik sudah dilakukan, tetapi akhirnya menuai cibiran publik yang terlanjur tak mempan lagi dengan upaya pengalihan isu macam-macam.

"Lihat saja upaya mem-`blow-up` kasus-kasus mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan dan beberapa aparat penegak hukum, yang sarat dengan banyaknya adegan aneh, begitu pula kasus viedo porno yang melibatkan Ariel dkk artisnya, hingga problem di seputar mantan Kabareskrim Susno Duadji, atau sebelumnya `skandal` dengan melibatkan Antasari Azhar (mantan Ketua KPK)," ungkapnya.

Lalu, kini muncul lagi sebuah usul jabatan tiga periode masa jabatan seorang presiden, di tengah situasi bangsa dan mayoritas rakyat yang kian tertekan kehidupan ekonomi, sosial serta moral keteguhan imannya.

"Jadi, usul ini `absurd`, bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945, dan tidak punya bobot yang bisa dipertanggungjawabkan secara politis maupun akademis," tandasnya.


`Testing the Water`

Namun, Andreas Pareira yang memperoleh gelar doktor bidang politik dan hubungan internasional di sebuah perguruan tinggi nasional ini juga mengingatkan, bisa saja usul ini dilakukan sebagai `testing the water`.

"Yakni, untuk mengukur dukungan pada SBY yang makin melemah sekarang. Tetapi apabila reaksi masyarakat positif, maka usulan Amandemen UUD ke-5 kalinya akan serius digarap, agar SBY bisa maju lagi, dan dengan berbagai cara akan memenangkan Pemilu 2014, sambil mempersiapkan putra mahkotanya, `Agus`," ungkapnya.

Namun, dengan reaksi yang negatif seperti sehari terakhir ini, dan bahkan makin bergulir seperti `bola salju` di seanteru negeri, Andreas Pareira berpendapat, usul ini bakal menjadi `boomerang`.

"Karena rakyat banyak memang semakin tak sanggup menahan tekanan ekonomi yang dikendalikan oleh para antek `Neo Kolonialisme - Imperialisme` (Nekolim) sebagaimana istilah Bung Karno, atau yang dipopulerkan sekarang dengan istilah Neo Liberalisme (Neolib)," tandasnya.


Tekanan Asing

Akan tetapi, Andreas Pareira yang sempat menjadi Anggota Komisi I DPR RI (bidang politik dan hubungan luar negeri) ini juga menengarai, bisa saja ide ini sengaja diwacanakan dulu, karena SBY agaknya cukup tertarik, apalagi ada tekanan kelompok asing.

"Jadi, bisa saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang mau menambah jabatan satu periode lagi. Dan ini atas tekanan itu tadi, yaitu, kelompok `eksploatir SDA` asing yang beroperasi di Indonesia, khususnya di bidang pertambangan, minyak dan gas alam, juga hutan maupun perikanan dan kelautan," ujarnya.

Karena, menurutnya, selama ini kelompok asing inilah yang amat diuntungkan dengan kepemimpinan SBY.

"Sehingga amat berasalan mereka ingin mempertahankan SBY, agar bisa lebih banyak mengeruk kekayaan alam Indonesia," katanya.

Terkait hal itu, secara terpisah seorang aktivis Forum 78 yang juga kader Partai Amanat Nasional (PAN), M Hatta Taliwang, mengurai lebar tentang `kerakusan` Barat melalui Amerika Serikat yang benar-benar bertekad serta nekad menguras habis harta kekayaan alam Indonesia.

"Ada sebuah buku yang sedang kami kaji sekarang, yang membeberkan sikap resmi Amerika melalui Presiden Richard Nixon, yang menginginkan kekayaan Indonesia yang istilahnya dalam buku disebut `harus diperas` sampai kering," tuturnya.

Hatta Taliwang menambahkan, dalam buku itu Indonesia diibaratkan sebagai `realestate` terbesar di dunia yang tak boleh jatuh ke tangan Uni Soviet (kini Rusia) atau Tiongkok (China).

"Baca saja tulisan Charlie Illingworth seperti dikutip rekan jurnalis senior B Shambazy, dalam buku John Perkins tentang `Membongkar Kejahatan Jaringan Internasional," ungkapnya.

Pertanyaan sekarang, demikian Hatta Taliwang, "bagaimana realitas Indonesia setelah sekitar 40 tahun `pesan` Richard Nixon itu, apakah para `agen`-nya belum kenyang atau tak mau dulu bertobat?, inilah renungan 65 tahun kemerdekaan RI kini". (M036/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010