Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah pada 2011 akan memberi perhatian kepada masalah masih belum optimalnya penyerapan anggaran dalam rangka memaksimalkan dampak positif belanja negara bagi perekonomian nasional.

Dokumen Nota Keuangan dan RAPBN 2011 yang diperoleh di Jakarta, Jumat, menyebutkan, daya serap anggaran belanja kementerian/lembaga dalam lima tahun terakhir rata-rata hanya 90 persen dari pagu anggaran yang ditetapkan dalam APBN setiap tahunnya.

Faktor yang menyebabkan penyerapan anggaran belanja kementerian/lembaga kurang optimal di antaranya keterlambatan dalam penetapan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pengelola Kegiatan di hampir semua satuan kerja baik pusat maupun daerah.

Penyebab lainnya berupa perencanaan yang kurang baik karena tidak ada term of reference (TOR) dan rencana anggaran belanja (RAB), masalah pengadaan/pembebasan lahan, dan dampak penerapan Keppres 80 tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, yang membuat proses pengadaan barang/jasa pemerintah menjadi persoalan yang tidak sederhana.

Pemerintah bertekad meningkatkan kualitas belanja pemerintah pusat baik dari sisi perencanaan maupun pelaksanaan. Hal ini dimaksudkan agar belanja negara, termasuk belanja pemerintah pusat dapat berfungsi sebagai instrumen fiskal yang efektif dalam memberikan pengaruh yang optimal kepada perekonomian antara lain berupa peningkatan pertumbuhan, penurunan tingkat pengangguran, dan pengentasan kemiskinan.

Pemerintah menetapkan delapan langkah strategis untuk meningkatkan kualitas belanja yaitu pertama, mengedepankan alokasi belanja modal.

Delapan langkah itu untuk mendukung pembiayaan bagi kegiatan-kegiatan pembangunan infrastruktur yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan kesempatan kerja, mengentaskan kemiskinan, dan mendukung pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan serta ramah lingkungan.

Kedua, mengurangi pendanaan kegiatan-kegiatan yang konsumtif antara lain dengan membatasi belanja tertentu (biaya perjalanan dinas, rapat kerja, workshop, seminar, dan sejenisnya), serta menekan biaya kegiatan pendukung (biaya manajemen, monitoring, sosialisasi, dan safeguarding).

Ketiga, merancang ulang kebijakan subsidi antara lain dengan mengubah sistem subsidi dari subsidi harga menjadi subsidi yang lebih tepat sasaran, mempertajam sasaran penerima subsidi melalui sistem seleksi ketat dan basis data yang transparan, menata ulang sistem penyaluran subsidi yang lebih akuntabel, predictable, dan makin tepat sasaran.

Keempat, menghindarkan meningkatnya pengeluaran mandatory spending yaitu kewajiban pengeluaran yang ditetapkan ("dikunci") dalam suatu peraturan perundangan yang tidak diamanatkan dalam konstitusi dan bertentangan dengan kaidah pengelolaan keuangan negara.

Kelima, mempercepat implementasi sistem penganggaran berbasis kinerja dan kerangka pengeluaran jangka menengah. Keenam, memperluas pelaksanaan reformasi birokrasi.

Ketujuh, menerapkan sistem "reward and punishment" dalam pengalokasian anggaran, antara lain dengan memberikan tambahan alokasi anggaran bagi kementerian/lembaga dan daerah yang dapat mencapai sasaran yang ditetapkan dengan biaya lebih hemat. Dan sebaliknya memotong anggaran bagi kementerian/lembaga atau daerah yang tidak mampu mencapai sasaran yang telah ditetapkan, tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Kedelapan, mempercepat penyerapan anggaran belanja antara lain dengan revisi Keppres Nomor 80 Tahun 2003 (seperti percepatan dan perbaikan tender, termasuk syarat untuk penetapan pemenang lelang), dan langkah lainnya untuk meningkatkan daya serap belanja kementerian/lembaga.
(T.A039/A027/P003)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010