Medan (ANTARA News) - Anggota Komisi A Bidang Hukum dan Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara H Syamsul Hilal menilai, pemberian remisi dan grasi kepada para koruptor dapat merusak citra positif pemerintah yang selama ini komitmen dalam pemberantasan korupsi.

"Pemberian remisi dan grasi bagi para koruptor bahkan juga dapat merusak citra Presiden SBY yang selama ini dikenal memiliki komitmen yang kuat dalam upaya-upaya pemberantasan korupsi," ujar politisi PDI Perjuangan itu ketika menjawab ANTARA di Medan, Selasa.

Syamsul Hilal mengaku sangat menyayangkan pemberian remisi dan grasi tersebut, karena pada akhirnya juga hanya akan mencederai rasa keadilan masyarakat.

Sejumlah terpidana kasus korupsi yang mendapatkan remisi bertepatan dengan Hari Kemerdekaan RI ke-65 di antaranya mantan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Aulia Pohan, Arthalyta Suryani alias Ayin dan mantan anggota Komisi IV DPR RI Al Amin Nasution, sementara mantan Bupati Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur Syaukani Hassan Rais mendapatkan grasi.

Menurut Syamsul Hilal, pemberian remisi atau grasi kepada pelaku korupsi kini justru memunculkan pertanyaan beragam di tengah-tengah masyarakat.

"Komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi kini seolah-olah hanya tinggal kamuflase, konsisten dalam kata-kata tetapi tidak jelas dalam sikap," ujar politisi senior yang juga Penasihat Fraksi PDI Perjuangan DPRD Sumut itu.

Ia mengakui pemberian remisi dan grasi merupakan hak prerogatif presiden. Tapi, ketika remisi atau grasi diberikan, keseriusan dan komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi kini kembali dipertanyakan.

"Pemberian remisi atau grasi kepada para koruptor jelas-jelas sangat bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi itu sendiri," katanya.

Syamsul Hilal juga mengaku sependapat dengan sejumlah kalangan yang menyatakan pemberian remisi atau grasi bagi koruptor seharusnya lebih mempertimbangkan kepekaan masyarakat, karena korupsi sudah dipandang sebagai kejahatan luar biasa terhadap negara dan rakyat.

"Pemerintah boleh saja memberikan remisi atau grasi kepada narapidana, tetapi sebaiknya jangan untuk terpidana kasus korupsi," katanya.

Ketika disebutkan pemberian remisi atau grasi itu karena alasan kemanusiaan sebagaimana dikemukakan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, ia menilai tidak ada alasan yang bisa dijadikan pembenaran untuk meringankan hukuman para koruptor.

"Kalau sudah begini, orang akan semakin berani untuk melakukan korupsi. Tapi memang seperti inilah penegakan hukum kita," katanya. (ANT/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010