PBB (ANTARA News) - Dalam suatu pernyataan keras Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB) Kamis meminta Republik Demokratik Kongo untuk menangkap dan menghukum para pelaku di balik perkosaan masal yang mengerikan di timur negara yang terkoyak perang itu.

PBB pada Senin melaporkan bahwa sedikit-dikitnya 179 wanita dan anak-anak telah diperkosa antara 30 Juli sampai 3 Agustus di dalam dan di sekitar kota Luvungi di provinsi Nord-Kivu, tempat pemberontak Hutu Rwanda bergiat.

Surat kabar New York Times Kamis melaporkan bahwa pasukan penjaga perdamaian PBB yang ditempatkan di dekatnya tahu bahwa desa-desa itu diduduki oleh pemberontak pada tanggal itu, ketika terjadi perkosaan massal, dipertanyakan kenapa mereka tidak segera membantu mereka.

Pada satu sidang khusus DK yang diserukan oleh Amerika Serikat dan Prancis, para anggota mengecam lambannya tanggapan pasukan dan minta bahwa tindakan seperti itu dilakukan untuk menjamin peristiwa yang mengerikan itu tak pernah terjadi lagi.

Suatu badan mengimbau kepada Kinshasa untuk melakukan penyelidikan atas serangan-serangan itu dan menjamin bahwa para pelakunya diseret ke pengadilan, kata pernyataan dubes Rusia di PB, Vitally Churkin, yang kini bertindak seagai ketua bergilir DK.

Sekjen PBB Ban Ki-moon telah menegaskan dengan marah atas serangan-serangan itu, yang dituduhnya merusak upaya-upaya meninggikan wibawa badan dunia untuk membasmi kerusuhan sipil dan kekerasan seksual.

Dipicu oleh tuduhan tidak beraksi MONUSCO, pasukan perdamaian terbesar PBB di dunia dengan 20.000 personil, Churkin mengatakan: "Terdapat perasaan umum bahwa sesuatu yang tidak mereka kerjakan mereka harus kerjakan."

"Kami kini sedang melakukan tugas ini dari bawah," katanya menambahkan.

Komentar-komentarnya diteruskan oleh Duta Besar AS Susan Rice, yang mengatakan: "Sekretariat DK PBB jelas mengetahui bahwa ada sesuatu yang tidak terjadi pada saat mereka harus lakukan."

Rice mengatakan badan dunia akan menunggu jawaban-jawaban dari Atul Khare, Asisten Sekjen untuk Operasi Pemelihara Perdamaian, yang Ban telah berangkatkan ke Kongo untuk menyelidiki persoalan itu.

Utusan khusus Ban untuk masalah-masalah yang melibatkan kekerasan seksual, Margot Wallstroem, telah mengepalai respon terhadap insiden.

Pemberontak Hutu dari Pasukan Pembebasan Rwanda Demokratik (PDLR) pada Kamis memantah pihaknya bertanggungjawab atas terjadinya perkosaan massal itu.

PDLR `tidak terlibat dalam tindakan menjijikkan itu dan merasa tersinggung dengan tuduhan-tuduhan tak berdasar yang dilancarkan terhadap mereka oleh Sekjen PBB," kata pemberontak dalam pernyataan yang diterbitkan di Paris.

Juru bicara Ban, Martin Nesirky, mengatakan perkosaan itu dilakukan selama serangan-serangan oleh milisi suku Mai-Mai dan FDLR, yang memiliki pangkalan di Kongo timur sejak setelah genosidan Rwanda pada 1994.

"Ini adalah contoh seram lain oleh keduanya yakni tingkat kekerasan seksual dan ketidak amanan yang terus berlangsung di DR Kongo," kata Nesirky Selasa.

Para anggota FDLR dituduh oleh Rwanda ikut ambil bagian dalam genosida pada 16 tahun lalu, yang menewaskan 800.000 orang, terutama para anggota suku minoritas Tutsi, sebelum para ekstremis itu kabur ke Kongo ketika pasukan yang dipimpin Tutsi mengambil alih kekuasaan di ibu kota Rwanda Kigali.

Perkosaan adalah senjata perang yang digunakan terhadap warga sipil di Kongo timur, di mana bentrokan antar penduduk desa sering dilaporkan dan dipersalahkan kepada gerakan-gerakan bersenjata, termasuk militer Kongo, FARDC.

Menurut Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi, sedikitnya 1.244 wanita dilaporkan diperkosa dalam triwulan pertama 2010, atau rata-rata 14 pemerkosaan setiap hari.
(H-AK/S004)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010