Ambon (ANTARA News) - Turis asal Singapura enggan ke Maluku karena biaya tinggi, kata Ketua Asosiasi Perjalanan dan Wisata (ASITA) Maluku Tony Tomasoa kepada ANTARA di Ambon, Senin.

"Wisatawan yang paling sering datang ke sini hanya Australia, Jepang, Korea serta negara-negara Eropa Timur, seperti Belanda dan Jerman," katanya.

Tomasoa mengungkapkan, selama ini Singapura merupakan pasar utama yang mampu menyumbang lebih dari satu juta wisatawan per tahun dari tujuh juta orang yang ditargetkan pemerintah pusat, namun yang berkunjung ke Maluku tidak ada sama sekali.

Berdasarkan hasil rapat ASITA di Jakarta, Juni lalu, kata Tomasoa, turis Singapura lebih banyak mengunjungi Batam dan Riau karena jaraknya dekat dan tarif hotelnya murah.

Apabila Maluku ingin menjaring turis dari negeri jiran tersebut, maka pemerintah setempat haruslah membenahi fasilitas pariwisata di daerah ini termasuk menyediakan paket wisata dengan harga promosi yang murah.

Tomasoa merujuk negara Thailand yang mampu menyediakan paket liburan murah selama empat hari hanya dengan biaya 199 dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp2 juta.

"Kita tidak bisa menyediakan layanan perjalanan seperti Thailand, karena ongkos tiket ke Ambon saja sudah mahal dan tidak adanya infrastruktur yang mendukung," katanya.

Menurut dia, seorang pengunjung bisa dikategorikan sebagai turis apabila ia menggunakan fasilitas layanan perjalanan yang disediakan oleh biro perjalanan di daerah, termasuk pemandu wisata.

"Sebagian besar pengunjung yang datang ke Indonesia adalah investor dan tenaga kerja asing, jadi tidak bisa dikategorikan sebagai turis," kata Tomasoa.

Ia menambahkan, saat ini presentase angka kunjungan wisatawan asing ke Indonesia menurun drastis sebanyak 75 persen hingga 80 persen dikarena terjadinya resesi ekonomi di Benua Eropa dan alasan keamanan.

"Kebanyakan pengunjung asing hanya membayar "visa on arrival" sebesar 25 dolar AS atau hanya Rp250.000 sesudah tiba di bandara," kata Tony Tomasoa.  (IVA/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010