Jakarta (ANTARA News) - Berbagai ulasan dalam media internasional maupun media massa nasional belakangan ini dengan penuh gairah menyoroti hasil positif strategi pertumbuhan China sejak 1980an, dan akhirnya sejak awal dekade 2010 melampaui posisi Jepang, menjadi negara dengan kekuatan perekonomian kedua terbesar setelah Amerika Serikat (AS).

Posisi AS sebagai kekuatan ekonomi Nomor Satu Dunia diprediksi segera tergeser, bukan dengan konfrontasi/mau menang sendiri, tapi dengan ko-eksistensi damai dan bersaing secara sehat dan bermartabat sebagai patutnya jiwa Asia.

Salah satu cara menelaah kekuatan China adalah mengkaji ulang kebijakan gaige kaifang-nya China dengan membuka diri dan mereformasi secara gradual. Layaknya Kokusaika Jepang yang berintikan pola “memberi kontribusi/partisipasi dalam koeksistensi” (contributive-co-existence pattern) dalam mengisi dunia yang makin beradab, dan bukan berhegemoni.

Gaige kaifang (membuka diri plus mereformasi) China merupakan kebijakan politik/ekonomi sosial budaya, yang diperkenalkan oleh Deng Xiaoping, negarawan China mulai tahun 1978. Sejak eranya Deng Xiaoping yang menggerakkan bangunnya China hingga kini, semua kalangan di Asia dan bahkan di Eropa, serta beberapa pengamat AS menyaksikan pesatnya pertumbuhan ekonomi China (rapid economic rise of China).

Dalam perjalanannya, bangsa China membutuhkan tekad bersama yang kadang-kadang mengalami hambatan sebagai akibat budaya tradisional/kuno yang melekat pada bangsa China, terutama di daerah yang dikenal sebagai kawasan pusat dan barat .

Memasuki abad 21, Hu Jintao dan kawan-kawannya sebagai generasi ke-empat kepemimpinan suksesor Deng Xiaoping memiliki visi yang meyakinkan bahwa manusia China kawasan pusat maupun barat dengan kebijakan ekonomi bertahap (gradualisme) akan makin mampu membuka diri dalam satu dua dasa warsa berarti mulai tahun 2010an.

Fokusnya tidak hanya kawasan Timur (pesisir China), tetapi juga sejak awal abad 21 aktif menggerakkan kawasan sentral dan barat untuk menjaga keseimbangan timur dan tengah maupun barat guna melangkah maju memasuki masa depan.

Peranan makin besarnya manusia-manusia kelas menengah baru (middle class) sejak awal dekade 1990an,dengan kesadaran nasionalisme memotivasi kalangan muda terdidik kawasan tengah maupun barat untuk mengintegrasikan diri dengan dunia luar China untuk ikut berperan menggerakkan modernisasi secara gradual sesuai jiwa nasionalisme berkarakter China.

Kalangan elite dan akademisi yang tergolong kelas menengah China menyadari negaranya masih tergolong negara berkembang dengan jumlah penduduk 1.34 miliar dan Pendapatan per kapita AS Dolar 3.678 ( data tahun 2009).

Sekalipun China berhasil menyalip Jepang, dengan melampaui Jepang menjadi negara dengan kekuatan perekonomian terbesar dunia kedua setelah AS, namun semua pihak harus tetap menyadari bahwa Jepang dengan jumlah penduduk 127,2 juta dan pendapatan per kapita senilai 39.731 dolar AS ( data 2009) Jepang telah maju sejak tahun 1960an, sementara itu China bergerak sejak pertengahan 1985an.

Tantangan ke masa depan: apakah China dan Jepang mampu menyatukan diri dalam berinternasionalisasi demi kedamaian, kebahagiaan dan kemakmuran (peace, happiness and prosperity) bangsa bangsa Asia Tmur termasuk perhimpunan bangsa Asia Tenggara (ASEAN) tanpa hegemoni dan mau menang sendiri, tanpa mau diadu-domba oleh banyak elite AS yang masih menjiwai kesadaran berhegemoni?

Kebijakan mendunia bangsa Jepang, yakni Kokusaika yang secara harfiah artinya internasionalisasi. Secara lebih luas dalam keseharian Jepang artinya suatu kesadaran sebagai anggota komunitas dunia dan bagaimana memberi makna pada kesadaran ini dalam kehidupan sehari hari. Kesadaran ini tidak hanya terbatas pada pertukaran materiil dan budaya, tapi juga bertalian dengan interaksi antar manusia sesama Jepang maupun warga bangsa lainnnya. Jadi kokusaika-nya Jepang dalam bisnis dan sosial lebih mendalam maknanya kalau ditelaah jangka panjangnya.

Bangsa Jepang pada dasarnya menghayati kulturnya, sekalipun tidak menutup mata dan pikiran pada hal hal yang baik dari tetangga Asia dan dunia Barat. Penyerapan ini memperkuat dan memperkaya bangsa Jepang dalam arti mereka menjadi moderen tanpa kehilangan jati diri mereka. Demikian pula dalam berstrategi memasuki pasaran internasional.

Berbagai landasan budaya dan sikap pandang antara lain Filsafat Zen Budhisme, Shintoisme, Konfusianisme dan karya salah satu tokoh Samurai, yakni Miyamoto Musashi dengan bukunya “Book of Five Rings” merupakan salah satu panduan yang tidak secara ekspilisit dianut oleh para pe-bisnis Jepang.

Dalam dunia ekonomi, umumnya eksekutif bisnis Jepang senantiasa memperhatikan dinamika pasar yang makin meningkat tuntutannya dalam memperoleh nilai (value) dalam arti co-creation of value , sebagai pertimbangan untuk memutuskan membeli adalah: mutu (quality), harga (price), penyeraahan (delivery), dan jasa/pelayanan (service). Dari ke empat faktor itu, urutannya adalah mutu dalam arti sepadan dengan ekspektasi pasar dalam membayar harga.

Sikap pandang p-bisnis Jepang dalam ber-internasionalisasi (kokusaika), antara lain menerapkan filsafat (terjemahan) “Book of Five Rings” oleh Miyamoto Musashi (1645) dan telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa selain bahasa Inggeris. Walaupun terhitung kuno, sampai dewasa ini filsafat Musashi besar pengaruhnya atas para eksekutif bisnis dalam menyusun strategi, dan pelaksanaan nya seolah suasana perang. Pengambilan inisiatif dan mendahului lawan dalam setiap situasi.

Pemilihan momentum dalam berstrategi merupakan hal yang penting.

Dalam penerapan strategi langkah-langkah yang diajarkan Musashi, yakni:

1. Janganlah berpikir tidak jujur
2. Caranya adalah dengan melatih diri ,
3. Kenalilah setiap seni
4. Pahami cara berbagai profesi
5. Bedakan antara untung dan rugi dalam realita keduniaan
6. Kembangkan penilaian intuitif
7. Seraplah hal hal yang tidak tampak
8. Perhatikan detail
9. Jangan mengerjakan hal yang tiada gunanya.

Petuah Miyamoto Musashi bersumber pada karya aslinya Sun Tzu (strateg China kuno) dari “The Art of War” yang antara lain “…..The business world is like a battle field …” (Dunia bisnis laksana medan pertempuran) yang diperhalus dalam strategi berinteraksi antar manusia )

Strategi dalam bisnis artinya berdaya saing yang mampu mencirikan keunggulan dalam mempengaruhi pola pikir konsumen yang dijadikan segmen pasarnya (the battle for the consumer’s mind). Artinya bukan melalui kebijakan banting harga, membohongi dengan mutu dan menyesatkan segmen pasar dengan kebijakan promosi yang penuh rayuan janji janji yang tidak realistis.

Mengapa pemilihan momentum (timing) dalam berstrategi demikian pentingnya adalah karena “strategi yang kurang matang merupakan sebab derita (immature strategy is the cause of grief). Dengan memfokus pada kawasan kita yang juga disoroti oleh bangsa di kawasan lain, Asia tengah berkembang dan merupakan kawasan yang paling dinamis dalam pertumbuhan perdagangan dan keluaran ekonomi (economic output).

Dengan interdependensi yang makin erat antar bangsa dan gelombang perubahan perubahan serta inovasi, makin banyak perusahaan di dunia didesak untuk mencari strategi, struktur dan sistem baru untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang cepat dalam nilai nilai sosial (social values) juga dalam berbisnis.

Para eksekutif Jepang menata perusahaan mereka dalam suatu lingkungan yang menyajikan lebih banyak peluang yang terhitung lebih kompleks dibandingkan yang pernah dialami para pendahulu mereka satu generasi sebelumnya.

Bagaimana dengan Indonesia?
Transformasi organisasi dan manajemen di negeri ini juga saatnya perlu cara pandang atau paradigma baru. Dalam paradigma baru cara berpikir dan bertindak menjadi sinerji kerjasama dan kompetisi (competition), gaya kepemimpinan organismik, partisipatif, berjaringan kerja dalam tim dan koeksistensi.

Setiap pembuat kebijakan, pebisnis dan kelas menengah di Indonesia harus mau belajar secara kontinu (tanpa lekas putus asa) mengembangkan kredibilitas dan kompetensi untuk melompati hambatan kultural.

Artinya kemauan membangun jaringan kerja (networking) atas dasar saling percaya, dengan orientasi tiim dengan menghayati timing dalam strategi dan pelaksanaannya untuk memberi substansi abad 21 yang menjadi abadnya Asia yang “damai, bahagia dan sejahtera” . (*)

*) Bob Widyahartono, M.A. (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi dan manajemen Asia Timur, dan Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar) Jakarta.

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010