Baghdad (ANTARA News/AFP) - Serangkaian serangan bom dan penembakan di Irak pada Rabu menewaskan lima orang, termasuk seorang penyiar televisi, ketika Baghdad memberlakukan larangan pada sepeda-motor menjelang hari raya Idul Fitri.

Kekerasan itu, yang juga melukai puluhan orang, terjadi tiga hari setelah serangan-serangan bunuh diri terkoordinasi terhadap kompleks militer Irak di Baghdad yang menewaskan 12 orang dan mencederai 36 lain.

Di kota Mosul, Irak utara, Sabah al-Khayat ditembak mati di depan rumahnya ketika sedang berangkat ke tempat kerjanya di stasiun televisi satelit Al-Mosuliyah, dimana ia menyiarkan program mengenai masjid dan tempat suci di kota itu.

"Orang-orang bersenjata menembak mati wartawan Sabah al-Khayat di depan rumahnya di Mosul pusat ketika ia sedang berangkat untuk bekerja," kata seorang pejabat kepolisian yang tidak bersedia disebutkan namanya.

Penembakan mati itu merupakan pembunuhan yang kedua terhadap seorang wartawan televisi di Irak dalam beberapa hari ini. Riad al-Saray, seorang penyiar ternama yang menyajikan program-program politik dan keagamaan untuk televisi pemerintah Al-Iraqiyah, dibunuh Selasa di Baghdad barat.

Dalam serangan paling mematikan Rabu, sebuah kendaraan yang berisi bom diledakkan, dan ledakan itu segera disusul dengan ledakan bom pinggir jalan di dekat sebuah terminal bis di daerah Bayaa, Baghdad selatan, yang menewaskan dua orang.

Para pejabat dari kementerian pertahanan dan dalam negeri mengatakan, lebih dari 20 orang cedera dalam pemboman itu, termasuk 10 anggota pasukan keamanan Irak.

Di jalan Al-Sheikh Omar di pusat kota Baghdad, dua ledakan bom pinggir jalan yang hampir serentak menewaskan satu orang dan melukai 12 lain, kata pajabat kementerian dalam negeri dan seorang dokter.

Juga Rabu, seorang petani tewas di kota Mayndili, Irak tengah, ketika truknya terkena ledakan bom pinggir jalan di dalam lahan pertaniannya, kata Mayor Mohammed al-Karkhi, juru bicara kepolisian di provinsi Diyala sebelah utara Baghdad.

Serangan-serangan itu terjadi beberapa hari setelah berakhirnya operasi tempur AS di Irak pada 31 Agustus.

Penarikan pasukan Amerika dilakukan bertepatan waktunya dengan meningkatnya serangan bom mobil dan penembakan yang ditujukan pada pasukan Irak yang mengambil alih tanggung jawab keamanan dari pasukan AS sejak 2009.

Ratusan orang tewas dalam gelombang kekerasan terakhir, termasuk sejumlah besar polisi Irak, namun AS tetap melanjutkan penarikan pasukan dari negara itu.

Meski kekerasan tidak seperti pada 2006-2007 ketika konflik sektarian berkobar mengiringi kekerasan anti-AS, sekitar 300 orang tewas setiap bulan tahun ini, dan Juli merupakan tahun paling mematikan sejak Mei 2008.

Militer AS menyelesaikan penarikan pasukan secara besar-besaran pada akhir Agustus, yang diumumkannya sebagai akhir dari misi tempur di Irak, dan setelah penarikan itu jumlah prajurit AS di Irak menjadi sekitar 50.000.

Penarikan brigade tempur terakhir AS dipuji sebagai momen simbolis bagi keberadaan kontroversial AS di Irak, lebih dari tujuh tahun setelah invasi untuk mendongkel Saddam.

Namun, pasukan AS terus melakukan operasi gabungan dengan pasukan Irak dan gerilyawan Kurdi Peshmerga di provinsi-provinsi Diyala, Nineveh dan Kirkuk dengan pengaturan keamanan bersama di luar misi reguler militer AS di Irak.

Para pejabat AS dan Irak telah memperingatkan bahaya peningkatan serangan ketika negosiasi mengenai pembentukan pemerintah baru Irak tersendat-sendat, lebih dari empat bulan setelah pemilihan umum parlemen di negara itu.

Jumlah warga sipil yang tewas dalam pemboman dan kekerasan lain pada Juli naik menjadi 396 dari 204 pada bulan sebelumnya, menurut data pemerintah Irak.

Sebanyak 284 orang -- 204 warga sipil, 50 polisi dan 30 prajurit -- tewas pada Juni, kata kementerian-kementerian kesehatan, pertahanan dan dalam negeri di Baghdad kepada AFP.

Menurut data pemerintah, 337 orang tewas dalam kekerasan pada Mei.

Kekerasan di Irak mencapai puncaknya antara 2005 dan 2007, kemudian menurun tajam, dan serangan-serangan terakhir itu menandai terjadinya peningkatan.

Hampir 400 orang tewas dan lebih dari 1.000 lain cedera tahun lalu dalam serangan-serangan bom terkoordinasi di sejumlah gedung pemerintah, termasuk kementerian-kementerian keuangan, luar negeri dan kehakiman pada Agustus, Oktober dan Desember.

Pemilihan umum pada 7 Maret tidak menghasilkan pemenang yang jelas dan bisa memperdalam perpecahan sektarian di Irak, yang menimbulkan kekhawatiran mengenai peningkatan kekerasan ketika para politikus berusaha berebut posisi dalam pemerintah koalisi yang baru.

Rangkaian serangan dan pemboman sejak pasukan AS ditarik dari kota-kota di Irak pada akhir Juni 2009 telah menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan pasukan keamanan Irak untuk melindungi penduduk dari serangan-serangan gerilya seperti kelompok militan Sunni Al-Qaeda.

Gerilyawan yang terkait dengan Al-Qaeda kini tampaknya menantang prajurit dan polisi Irak ketika AS mengurangi jumlah pasukan menjadi 50.000 prajurit pada 1 September 2010, dari sekitar 170.000 pada puncaknya tiga tahun lalu.(*)

(Uu.M014/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010