Teheran (ANTARA News) - Iran pada Jumat (10/9) membantah klaim kelompok oposisi bahwa negara itu diam-diam membangun sebuah tempat pengayaan uranium baru di daerah pegunungan baratlaut Teheran.

Bantahan itu disampaikan oleh ketua badan atom Iran Ali Akbar Salehi kepada kantor berita Mehr.

"Kami tidak memiliki instalasi pengayaan uranium semacam itu, dan jika mereka (kelompok-kelompok oposisi) mengetahui pembangunan seperti itu, mereka harus memberi tahu kami. Kami akan berterima kasih kepada mereka," katanya, seperti dikutip AFP.

"Tidak ada instalasi nuklir dengan definisi tertentu semacam itu di Iran yang tidak dideklarasikan kepada badan (pengawas nuklir PBB)," kata Salehi, menunjuk pada Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).

Kelompok oposisi Dewan Nasional Perlawanan Iran (NCRI) mengatakan Kamis di Washington, pada 2005 Iran mulai membangun sebuah tempat pengayaan uranium baru di Abyek, sekitar 120 kilometer sebelah baratlaut Teheran.

Iran saat ini memperkaya uranium di kota Natanz, Iran tengah, dan membangun sebuah fasilitas semacam itu di Fordo, sebelah baratdaya Teheran, ibukota Iran.

Salehi mengatakan, instalasi-instalasi nuklir memiliki tujuan tertentu.

"Fasilitas-fasilitas yang digunakan untuk tujuan medis dan pertanian tidak dipertimbangkan sebagai nuklir. Ada banyak fasilitas (non-nuklir) semacam itu di Iran," katanya.

Iran menjadi sorotan dunia karena program nuklirnya yang kontroversial. Negara itu sudah dikenai tiga paket sanksi PBB karena penolakannya untuk menghentikan pengayaan uranium, salah satu dari sejumlah langkah penting untuk membuat energi nuklir bagi kepentingan-kepentingan sipil ataupun militer.

Ketegangan menyangkut program nuklir Iran memuncak setelah mereka menolak perjanjian nuklir yang ditengahi badan atom PBB itu dan juga mengumumkan rencana untuk membangun pabrik pengayaan uranium baru.

AS, Israel dan sejumlah negara Barat menuduh Iran menggunakan program nuklirnya sebagai selubung untuk membuat senjata atom, namun Teheran bersikeras bahwa program nuklirnya hanya untuk kepentingan sipil damai.

Selain program nuklir, negara-negara Barat juga menyuarakan keprihatinan yang meningkat atas kerusuhan pasca pemilihan presiden tahun lalu, yang telah mengguncang pilar-pilar pemerintahan Islam dan meningkatkan kekhawatiran mengenai masa depan negara muslim Syiah itu, produsen minyak terbesar keempat dunia.

Iran dilanda pergolakan besar setelah pemilihan umum Juni 2009 yang disengketakan itu.

Ratusan reformis ditahan dan diadili dalam penumpasan terhadap oposisi pro-reformasi setelah pemilihan umum presiden itu, yang disusul dengan kerusuhan terbesar dalam kurun waktu 31 tahun.

Dua calon presiden yang kalah, Mir Hossein Mousavi dan Mehdi Karroubi, mantan ketua parlemen yang berhaluan reformis, bersikeras bahwa pemilihan Juni itu dicurangi untuk mendudukkan lagi Mahmoud Ahmadinejad ke tampuk kekuasaan.

Presiden Mahmoud Ahmadinejad, yang telah membawa Iran ke arah benturan dengan Barat selama masa empat tahun pertama kekuasaannya dengan slogan-slogan anti-Israel dan sikap pembangkangan menyangkut program nuklir negaranya, dinyatakan sebagai pemenang dengan memperoleh 63 persen suara dalam pemilihan tersebut.

Para pemimpin Iran mengecam "campur tangan" negara-negara Barat, khususnya AS serta Inggris, dan menuduh media asing, yang sudah menghadapi pembatasan ketat atas pekerjaan mereka, telah mengobarkan kerusuhan di Iran.

Sejumlah pejabat Iran mengatakan bahwa 36 orang tewas selama kerusuhan itu, namun sumber-sumber oposisi menyebutkan jumlah kematian 72. Delapan orang lagi tewas selama protes anti-pemerintah pada 27 Desember, menurut data resmi.
(Uu.M014/P003)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010