Baquba, Irak (ANTARA News/AFP) - Serangan bom dan penembakan Minggu di provinsi bergolak Diyala, Irak tengah, menewaskan lima orang, termasuk dua prajurit dan satu polisi, kata beberapa pejabat keamanan.

Seorang prajurit dan seorang polisi tewas dalam tembak-menembak dengan gerilyawan di desa kawasan pertanian Al-Hudaid, kata Mayor Mohammed al-Karkhi, juru bicara kepolisian di Diyala, sebelah utara Baghdad.

Tiga gerilyawan juga tewas dan 10 lain cedera dalam bentrokan itu, yang meletus Sabtu malam ketika kelompok orang bersenjata berusaha menguasai Al-Hudaid, sebelah barat Baquba, ibukota provinsi tersebut.

Juru bicara kementerian pertahanan Mayor Jendral Mohammed al-Askari mengatakan, Sabtu, pasukan keamanan telah menangkap 12 gerilyawan di desa yang sama pada hari itu.

Sementara itu di pusat kota Baquba, dua warga sipil tewas dan seorang anak terluka ketika bom tempel magnetis yang dipasang di sebuah minibus yang membawa mereka meledak, kata polisi.

Seorang kapten angkatan darat juga tewas dan tiga anggota keluarganya terluka ketika sebuah bom pinggir jalan meledak di depan rumahnya di kota Buhruz, sebelah selatan Baquba, kata Karkhi.

Diyala tetap menjadi salah satu provinsi yang dilanda kekerasan paling parah meski serangan-serangan di wilayah lain Irak berkurang dari puncaknya pada 2006 dan 2007.

Kekerasan Minggu itu terjadi beberapa hari setelah berakhirnya operasi tempur AS di Irak pada 31 Agustus.

Penarikan pasukan Amerika dilakukan bertepatan waktunya dengan meningkatnya serangan bom mobil dan penembakan yang ditujukan pada pasukan Irak yang mengambil alih tanggung jawab keamanan dari pasukan AS sejak 2009.

Ratusan orang tewas dalam gelombang kekerasan terakhir, termasuk sejumlah besar polisi Irak, namun AS tetap melanjutkan penarikan pasukan dari negara itu.

Meski kekerasan tidak seperti pada 2006-2007 ketika konflik sektarian berkobar mengiringi kekerasan anti-AS, sekitar 300 orang tewas setiap bulan tahun ini, dan Juli merupakan tahun paling mematikan sejak Mei 2008.

Militer AS menyelesaikan penarikan pasukan secara besar-besaran pada akhir Agustus, yang diumumkannya sebagai akhir dari misi tempur di Irak, dan setelah penarikan itu jumlah prajurit AS di Irak menjadi sekitar 50.000.

Penarikan brigade tempur terakhir AS dipuji sebagai momen simbolis bagi keberadaan kontroversial AS di Irak, lebih dari tujuh tahun setelah invasi untuk mendongkel Saddam.

Namun, pasukan AS terus melakukan operasi gabungan dengan pasukan Irak dan gerilyawan Kurdi Peshmerga di provinsi-provinsi Diyala, Nineveh dan Kirkuk dengan pengaturan keamanan bersama di luar misi reguler militer AS di Irak.

Para pejabat AS dan Irak telah memperingatkan bahaya peningkatan serangan ketika negosiasi mengenai pembentukan pemerintah baru Irak tersendat-sendat, lebih dari empat bulan setelah pemilihan umum parlemen di negara itu.

Jumlah warga sipil yang tewas dalam pemboman dan kekerasan lain pada Juli naik menjadi 396 dari 204 pada bulan sebelumnya, menurut data pemerintah Irak.

Sebanyak 284 orang -- 204 warga sipil, 50 polisi dan 30 prajurit -- tewas pada Juni, kata kementerian-kementerian kesehatan, pertahanan dan dalam negeri di Baghdad kepada AFP.

Menurut data pemerintah, 337 orang tewas dalam kekerasan pada Mei.

Kekerasan di Irak mencapai puncaknya antara 2005 dan 2007, kemudian menurun tajam, dan serangan-serangan terakhir itu menandai terjadinya peningkatan.

Hampir 400 orang tewas dan lebih dari 1.000 lain cedera tahun lalu dalam serangan-serangan bom terkoordinasi di sejumlah gedung pemerintah, termasuk kementerian-kementerian keuangan, luar negeri dan kehakiman pada Agustus, Oktober dan Desember.

Pemilihan umum pada 7 Maret tidak menghasilkan pemenang yang jelas dan bisa memperdalam perpecahan sektarian di Irak, yang menimbulkan kekhawatiran mengenai peningkatan kekerasan ketika para politikus berusaha berebut posisi dalam pemerintah koalisi yang baru.

Rangkaian serangan dan pemboman sejak pasukan AS ditarik dari kota-kota di Irak pada akhir Juni 2009 telah menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan pasukan keamanan Irak untuk melindungi penduduk dari serangan-serangan gerilya seperti kelompok militan Sunni Al-Qaeda.

Gerilyawan yang terkait dengan Al-Qaeda kini tampaknya menantang prajurit dan polisi Irak ketika AS mengurangi jumlah pasukan menjadi 50.000 prajurit pada 1 September 2010, dari sekitar 170.000 pada puncaknya tiga tahun lalu.  (M014/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010