Jakarta (ANTARA) - Maestro lukis Srihadi Soedarsono menggambarkan kisah perjalanan bangsa Indonesia lewat karya lukis terbarunya "Jayakarta: the Glory of the Past, Present and Future."

Di bentang kanvas 2x4 meter, pelukis berusia 89 tahun itu memulai alur perjalanan sejarah kota Jakarta sejak zaman VOC pada abad ke-17 di sebelah kiri, lalu semakin ke kanan adalah kota Jakarta masa kini.

Butuh ketelitian, ketekunan, dan mental pantang menyerah untuk menyelesaikannya, apalagi saat Indonesia dilanda pandemi COVID-19 seperti saat ini. Semangat tersebut tersirat dalam lukisan karyanya.

Baca juga: Rentang Kembara Roso, 70 tahun rekam jejak pelukis Srihadi Soedarsono

"Alur perjalanan tersebut dibuat layaknya wayang beber yang melukiskan suatu episode cerita sebagai karya seni lukis. Wayang beber merupakan wayang langka yang dimainkan sejak 1223 M asal Kerajaan Jenggala (sekarang Kabupaten Sidoarjo)," kata Srihadi dalam keterangannya pada Senin.

Menggunakan alur wayang beber inilah seniman asal Solo itu memulai lukisan dengan kelompok kapal dagang VOC yang mendarat di Teluk Jakarta pada abad ke-17 kiri atas bidang lukis. Kemudian tak jauh dari pantai berdiri benteng VOC.

Setelah itu dibangun gedung-gedung antara lain Istana Rijswijk (Istana Merdeka), Stadhuis (Museum Fatahillah), dan Bataviaasch Genootschap (Museum Nasional).

Dalam lukisan, gedung-gedung diperlihatkan seperti bentuk arsitektur awal sebelum direnovasi atau dipugar. Hal ini untuk menunjukkan bentuk asli arsitektur gedung tersebut sesuai dengan waktu dibangunnya.

Kemudian bergeser ke kanan, zaman bergulir ke periode proklamasi. Terdapat sebuah tempat diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia yang kemudian berkembang menjadi Monumen Nasional (Monas).

Lalu setelah masa proklamasi bermunculan bangunan-bangunan monumental seperti Gelora Bung Karno, Monumen Selamat Datang, Hotel Indonesia, dan Jembatan Semanggi yang menandai mulai berkembangnya gedung-gedung dan kepadatan di Kota Jakarta.

Hingga akhirnya di kanan atas bidang lukis kita jumpai pelabuhan yang besar, ramai, maju, serta diisi kapal-kapal besar dan kecil. Inilah pelabuhan masa depan yang akan mendukung perkembangan industri Indonesia.

Perjalanan zaman meninggalkan jejak di gaya arsitektur yang berubah, jalan yang bertambah panjang dan saling terhubung, perkembangan teknologi yang memudahkan manusia, serta bergesernya budaya.

Srihadi memvisualkan bangunan-bangunan monumental sesuai dengan gaya arsitektur saat awal dibangun, bukan bentuk yang kita lihat hari ini ketika sudah mengalami renovasi dan perluasan.

"Melihat peristiwa-peristiwa itu ibarat kita melihat wayang beber. Bahkan harapan akan kejayaan masa depan Indonesia pun saya gambarkan di situ," kata Srihadi.

Pemahaman yang mendalam terhadap warna terlihat dari cara Srihadi memilih warna-warna dalam lukisan ini.

Akademisi seni rupa Farida Srihadi menjelaskan "Srihadi bukan hanya mengajak untuk melihat, melainkan juga merasakan warna yang merupakan unsur utama dalam karya. Penggunaan warna emas dalam lukisan ini untuk menunjukkan kejayaan dan kemakmuran sebuah era."

Lukisan-lukisan Srihadi terkenal dengan pendekatan landscape-nya.

Ketertarikannya akan landscape lebih jelas dideskripsikan antara tahun 1954-1959 ketika beberapa kali berkunjung ke Bali.

Kunjungan yang paling penting adalah pada 1954. Dia tinggal di pantai Sindhu, Sanur, Bali yang saat itu masih sepi, selain ada perahu-perahu, upacara, dan perempuan Bali di pantai. Masa tersebut adalah masa Srihadi memikirkan apa yang dia cari dari seni lukis.

Dari momen-momen kontemplasi di Bali inilah Srihadi memahami arah karya-karyanya. Dan saat mengamati pantai, Srihadi menemukan fenomena alam bahwa antara langit dan laut selalu ada garis penghubung yang lurus, bersih, dan indah. Garis horizon. Semacam titik nol yang siap untuk dikembangkan.

Baca juga: Maestro lukis Srihadi Soedarsono akan gelar pameran tunggal di Jakarta

Baca juga: Srihadi Soedarsono sempurnakan goresan Jokowi jadi lukisan

Baca juga: Maestro lukis Srihadi Soedarsono pamerkan ratusan karya


Pewarta: Ida Nurcahyani
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021