Jakarta (ANTARA News) - Rencana kenaikan tarif Kereta Rel Listrik (KRL) kelas ekonomi di Jabodetabek mulai 1 Oktober mendatang dinilai tidak layak karena selain tanpa disertai maklumat Standar Pelayanan Minimum (SPM), juga secara perundangan melenceng dari UU No.23/2007 tentang Perkeretaapian.

"Tidak ada SPM kok mau naikkan tarif? Ini asal-asalan namanya, amburadul dan tidak jelas serta melenceng dari semangat UU No.23/2007 tentang Perkeretaapian," kata pengamat Perkeretaapian Taufik Hidayat di Jakarta, Selasa.

PT KAI berencana menaikkan tarif KRL Jabodetabek rata-rata 80 persen mulai 1 Oktober 2010.

Menurut Taufik, sesuai UU No.25/2009 tentang Pelayanan Publik, setiap penyelenggaraan pelayanan publik, termasuk moda transportasi kereta api, wajib adanya SPM yang dibuat oleh regulator dan dilaksanakan oleh operator dalam mahlumat pelayanan secara terbuka.

"Nah ini belum ditetapkan oleh pemerintah dan dimaklumatkan oleh operatornya, kok mau naik?" katanya.

Selain itu, tegasnya, berdasarkan UU No.23/2007 tentang Perkeretaapian, soal SPM sudah sangat jelas yakni standar pelayanan pada stasiun keberangkatan, saat dalam perjalanan dan di stasiun kedatangan.

"Sampai sekarang belum ada tanda-tanda SPM itu dibuat oleh pemerintah dan dimaklumatkan oleh regulator, kok mau naik?" katanya.

Yang penting juga, tambah mantan Direktur Eksekutif Indonesia Railways Watch ini, secara regulasi kenaikan tarif itu aneh dan tidak sesuai dengan norma perundangan di Indonesia.

Keanehan itu sangat mencolok karena rincian kenaikan tarif dalam keputusan menteri (KM) No.35/2010 tertanggal 23 Juni 2010 direncanakana berlaku mulai 1 Juli, tetapi ditunda hingga 1 Oktober dengan KM baru bernomor 48/2010 tertanggal 4 Agustus 2010.

"Kemudian, baru pada 8 Juli 2010, pemerintah mengeluarkan KM No 38/2010 tentang Pedoman Kenaikan Tarif (formula). Jadi, rincian kenaikan sudah ditetapkan, tetapi formulanya baru diluncurkan kemudian. Ini kan terbalik atau amburadul," katanya.(*)

E008/A023

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010