KETIKA protes berbagai kalangan (termasuk Pemerintah) atas Tari Pendet yang diklaim seolah-olah punya Malaysia (karena masuk dalam promosi pariwisata mereka) mengemuka, saya ingat satu dari sekian ciri “manusia Indonesia” versi Mochtar Lubis (1977),
KETIKA protes berbagai kalangan (termasuk Pemerintah) atas Tari Pendet yang diklaim seolah-olah punya Malaysia (karena masuk dalam promosi pariwisata mereka) mengemuka, saya ingat satu dari sekian ciri “manusia Indonesia” versi Mochtar Lubis (1977), yakni “punya jiwa seni” alias “estetis”.

Rasanya ciri tersebut cukup netral ketimbang yang lain yang segera dipersepsikan secara negatif, seperti munafik (hipokrit), “lempar batu sembunyi tangan”, feodal dan patriarkhal, suka mitos dan paranormal, “boros, suka utang, gengsi”, kurang gigih dalam berusaha, gemar “jalan pintas”, “suka iri, dengki, dan menggerutu”, suka ikut-ikutan, sok, atau “suka tertawa dalam penderitaan”.
  
Adapun kita bangsa yang “nyeni” alias suka keindahan (estetika), saya sepakat dengan Mochtar Loebis. Coba lihat ragam ekspresi budaya, yang tergelar dalam berbagai bentuk kesenian kita, betapa kayanya.

Tari-tarian, misalnya, sangat beragam dan indah-indah. Tari Seudati di Aceh, tari Gambyong di Jawa Tengah, tari Jaipong di Jawa Barat, tari Pendet di Bali, itu hanya menunjuk contoh kecil dari aneka ragam tari-tarian tradisional Indonesia.

Lagu-lagu daerah juga demikian, belum lagi pakaian-pakaian adat (semisal kebaya, bodo), masakan (misalnya gudeg, pepes), senjata tradisional (misalnya keris, badik) dan yang lain.

Sejak kemerdekaan keberbedaan itu menyatu dalam identitas nasional Indonesia, disatukan dengan bahasa persatuan Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu yang dipandang lebih egaliter karena tidak dirumitkan oleh tingkatan-tingkatan (feodal) bahasa.

Saking kayanya kita akan khazanah kesenian sebagai ekspresi dari kebudayaan bangsa itu, kadang tak terurus dengan baik pelestariannya. Banyak kelompok kesenian tradisional, seperti ludruk (Jawa Timur), kethoprak (Jawa Tengah), lenong (Betawi), yang terlantar dan biasanya sisa-sisanya sering diabadikan dalam rubrik cerita foto di suratkabar-suratkabar.

Menyedihkan kiranya ketika tontotan Wayang Wong alias “wayang orang” di Gedung Sriwedari Solo, ditonton hanya oleh sedikit orang, walaupun pemainnya tetap semangat dan tetap “miskin”.

Para seniman kita banyak yang “nelangsa”. Ketika W.S Rendra, sastrawan tersohor kita tiada duanya wafat, banyak yang sadar bahwa kehidupan seniman kita yang memang betul-betul nelangsa

Orang biasa mengatakan, semakin nelangsa, maka semakin menghasilkan karya-karya estetis. Tapi, apakah nasib para seniman itu dibiarkan “selamanya” demikian?

Dalam buku-buku pelajaran sekolah sering dikatakan bahwa “kebudayaan nasional Indonesia adalah puncak dari kebudayaan-kebudayaan daerah”. Saya kira rumusan itu datang dari ahlinya, dan hendak meninggalkan satu pesan bahwa kebudayaan nasional kita itu kaya, karena diwarnai oleh budaya-budaya daerah.

Keindahan Indonesia yang dihasilkan dari produk budayanya, diwarnai oleh kekayaan budaya daerah. Memang, dalam hal ini kerap kita dirancukan oleh dua istilah yang seperti sama tetapi berbeda, yakni kebudayaan dan kesenian –dan ini penting untuk kita klarifikasi.

Multiperspektif

Kebudayaan itu maknanya luas sekali, bahkan serba-mencakup (multiperspektif) banyak hal, termasuk kesenian. Kesenian adalah bagian dari budaya masyarakat. Kesenian itu ekspresi budaya, yang selalu terkait dengan dimensi keindahan. Tidak ada kesenian yang tidak indah –walaupun persepsi orang tentang “yang indah” berbeda-beda.

Tari Pendet adalah “ritual” kesenian yang indah, sebagaimana tari Kecak, dan tari-tari yang disakralkan lainnya. Tari-tari demikian hadirnya tak lepas dari konteks sosio-kultural masyarakat lokal yang mengekspresikan sesuatu yang bernilai universal.

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Budaya biasanya dilekatkan pada konteks akal-budi dan keberadaban. Orang yang berbudaya ialah yang mengedepankan akal-budi dan beradab.

Kebudayaan itu, kalau demikian, luas maknanya. Sastrawan Radhar Panca Dahana pernah menjelaskan perbedaan antara kebudayaan dan politik. Kebudayaan itu “berpintu banyak”, sementara politik “berpintu satu”.

Kebudayaan memproduksi banyak sesuatu, tidak hanya tari-tarian dan jenis kesenian lain, tetapi juga mempengaruhi bagaimana orang menciptakan dan mengembangkan teknologi, bagaimana orang bertransaksi di pasar-pasar, bagaimana cara orang berpolitik, bagaimana menghargai yang lain, dan sebagainya.

Nah, menurut Mohtar Loebis, bangsa kita tak dipungkiri suka keindahan, estetis. Tengoklah peninggalan-peninggalan alias artefak-artefak penting peninggalan nenek moyang, seperti Candi Borobudur atau Prambanan di Jawa Tengah –betapa megah dan mengagumkan.

Tapi Borobudur atau Prambanan dan yang lain, yang secara kasat mata dapat dilihat, menurut J.J. Hoenigman (sebagaimana saya kutip dari wikipedia) hanyalah satu dari dua wujud kebudayaan. Benda-benda peninggalan itu wujud kebudayaan artefak –itu hasil kesenian, ekspresi budaya yang material.

Wujud kebudayaan lainnya adalah gagasan dan tindakan. Gagasan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, nilai-nilai, norma-norma, dan sebagainya yang abstrak. Adanya di alam pemikiran masyarakat, ekspresinya berbagai macam, apakah secara tertulis atau lisan.  

Wujud kebudayaan satunya lagi adalah aktivitas (tindakan), sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat dan referensi tertentu.

Kritik Kebudayaan

Biasanya yang dipolemikan dalam diskusi-diskusi budaya adalah gagasan sebagai wujud kebudayaan. Kalau kita buka kembali “polemik kebudayaan” zaman Sutan Takdir Alisjahbana (STA) pada 1930-an, maka yang dipersoalkan adalah kebudayaan sebagai mindset (pola pikir) bangsa: apakah mengambil dan menerapkan “budaya Barat” yang progresif dan modern ataukah “budaya Timur” yang dikenal estetis artefak-artefaknya, tapi kondisinya “tidak produktif”, bahkan “mundur”.

STA menginginkan agar budaya Barat dijadikan kiblat bagi kemajuan bangsa. Sementara yang lain menolaknya, dan tetap menginginkan “budaya Timur” yang dikembangkan, toh kita pernah punya Majapahit atau Sriwijaya.

Polemik ini menarik, dan mestinya bisa diteruskan sampai kapan pun –walaupun yang berpolemik pun tetap dituntut berkarya secara produktif. Tapi yang jelas, soal mindset apa yang cocok untuk bangsa ini, itulah yang perlu terus didiskusikan. Kalau Pancasila, maka “mindset Pancasila” seperti apa uraiannya?

Tapi, dinamika hidup terus bergerak. Perubahan politik dan sistem (politik) ketatanegaraan berikut praktik demokrasi langsung, memunculkan ragam ekspresi “manusia Indonesia”.

Belakangan ini para politisi (dan masyarakat) digelisahkan telah menyumbangkan suatu pola perilaku (budaya) yang pragmatis-kalkulatif. Politik dipraktikan secara transaksional, diderivasikan dari “ideologi uang” –sebagai sindiran tajam atas maraknya praktik-praktik politik uang (money politics).

Itu juga persoalan budaya.

Jadi, kalau kembali ke kebudayaan sebagai sesuatu yang “berpintu banyak”, maka tak hanya klaim pihak-pihak tertentu di Malaysia (apakah sekedar tanggungjawab production house pembuat iklan pariwisata, ataukah pemerintah Malaysia) atas tari Pendet, lagu Rasa Sayange, Reog Ponorogo lah yang merupakan persoalan-persoalan kebudayaan, tetapi juga soal penanganan Tenaga Kerja Indonesia (TKI), kasus klaim atas kedaulatan wilayah di Blok Ambalat, dan sebagainya (yang selama ini hanya dipandang dari perspektif politik) juga merupakan persoalan budaya.

Sebagai bangsa serumpun, perlu ditumbuhkan kepekaan kebudayaan di antara kedua bangsa. Malaysia perlu belajar dari Indonesia atas produktivitas karya-karya seni yang estetis, tanpa harus meratapi “krisis identitas budaya” bangsa Malaysia.

Lebih jauh juga harus mau belajar untuk mengembangkan kebudayaan tingkat tinggi, mau bertegur sapa secara elegan dengan rekan-rekannya bangsa serumpun, yang sering mereka sebut sebagai “Indon” –dan perlu tahu bahwa sebutan itu sangat menganggap rendah orang Indonesia.

Pemerintah dan orang Indonesia juga tak boleh sekedar reaksioner. Harus lebih peduli lagi dengan khazanah kebudayaannya (termasuk mematenkan produk-pruduk kesenian atau kebudayaan material kita), dan membenahi marketing pariwisata kita –agar tak kalah dengan Malaysia atau Singapura, misalnya.


Alfan Alfian, Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta

Oleh Alfan Alfian
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009