Teman, anak-anak kita, ibarat kertas putih tak ternoda, mereka bening dan bersih. Sungguh, menjadi orang tua mereka adalah kesempatan emas bagi kita untuk menjadi temannya yang positif. Tanggung jawab kita adalah menemani mereka agar menemukan jalan
Suatu hari, aku pulang kerja lebih cepat dari biasanya. Puteri kami, Amira (8 tahun) menyambutku di depan pintu dengan sumringah. Pelukannya dan pelukan mamanya langsung meluruhkan semua persoalan di kantor yang masih kupikirkan. Hampir setiap hari aku pulang larut malam, biasanya Amira sudah tidur.

Aku punya waktu khusus berbincang-bincang dengan Amira pada akhir pekan. Kami sering lakukan berdua. Sabtu, kami sebut sebagai Hari Papa. Aku amat menikmati pengalamannya di sekolah, di tempat les atau mendengarkan imajinasinya sebagai komikus terkenal. Saat Hari Papa itu, biasanya kusarankan mamanya untuk istirahat, sewaktu-waktu mamanya ikut bergabung.

Malam itu, aku minta izin kepada istriku agar kali itu giliranku membaca buku pengantar tidurnya. Amira punya kebiasaan minta dibacakan buku sebelum tidur. Biasanya ia pilih sendiri buku cerita, kisah Nabi dan para sahabat, atau buku pengetahuan iptek, hobinya.

Hukumnya jadi "wajib" bagi kami membacakannya. Lebih sering dilakukan mamanya karena aku sering pulang kerja larut malam. Pernah beberapa kali, Amira gelisah tidurnya, karena terlanjur tidur saat belum sempat dibacakan.

Malam itu, sungguh menjadi malam yang istimewa buatku. Tiba-tiba ia bertanya; "Papa, hari ini ngapain?". Dengan ringan aku jawab; "Biasa, papa kerja, lagi banyak masalah di kantor". Aku kelepasan meresponnnya dengan jawaban yang mungkin kurang pas. Sebelum aku mengoreksi jawaban itu, dia menatapku dengan penuh empati, sembari memegang tanganku erat-erat.

Aku tertegun dengan caranya menatapku dan memegang tanganku seperti itu. Dia lantas berkata, "Papa harus kuat ya, kalo papa yakin, papa pasti bisa mengatasi semuanya". Subhanallah, tak kuasa aku berkata-kata.

Langsung aku peluk Amira, sembari berkata, "Terima kasih anakku, kamu telah mengingatkan papa. Insya Allah, papa kuat dan bisa mengatasi semua masalah di kantor". Dalam hati, aku amat terharu.

Selanjutnya aku tanya dia. "Kata-katamu bagus sekali. Kalo boleh tahu, dari mana Amira peroleh kata-kata itu?" Dia jawab, "Kan, papa yang bilang waktu itu. Waktu Amira sedih saat pemberian permen diledekin teman-teman". Masya Allah. Aku sendiri lupa pernah bilang seperti itu.

Akhirnya aku ingat kejadian beberapa minggu sebelumnya. Sepulang perjalanan dinas, aku bawa oleh-oleh permen buah dari negeri Tirai Bambu buat Amira. Biasanya, Amira berbagi oleh-oleh itu ke teman-temannya di sekolah. Rupanya sebagian teman-temannya menolak karena permen buah tersebut tidak ada tulisan "halal"-nya.

Malam setelah kejadian itu, Amira sedih. Saat itu, kami ajak Amira untuk berbicara dari hati ke hati. Kami bilang sangat memahami kesedihan yang ia alami.

Selanjutnya, kami berusaha menguatkan hatinya sembari menawarkan pilihan lain setelah kesedihannya berkurang. Kami tawarkan pilihan bila ia bisa bersikap biasa terhadap sikap teman-temannya yang tidak seperti yang diharapkan.

Kami sampaikan bila sikap teman-temannya boleh jadi karena ketidak-tahuan atau bercanda. "Tidak semua maksud baik dapat diterima dengan baik oleh si penerima karena kesalahpahaman atau ketidaktahuan. Kadang, kita harus siap menghadapi situasi itu dan tetap bersemangat untuk melakukan kebaikan," demikian kataku.

Selanjutnya, kami cerita kisah-kisah orang bijak dalam menghadapi lingkungan yang sulit dan tidak ramah. Amira menjadi lebih tenang setelahnya, sambil berkata lirih. "Amira malu diledekin teman-teman". Kami ajak dia untuk siap menghadapi kejadian seperti itu, bila suatu waktu terjadi lagi. Meski dia berkata, "Aku nggak bisa".

Aku ingat, saat itulah aku pegang tangannya sambil menatapnya dalam-dalam. "Kalo Amira yakin bisa, pasti bisa," kataku sambil memeluknya. Dia bilang waktu itu "Insya Allah".

Kupikir, kejadian itu berlalu begitu saja, rupanya kata-kata itu langsung diingatnya. Aku yang malah lupa, astagfirullah.

Teman, anak-anak kita, ibarat kertas putih tak ternoda, mereka bening dan bersih. Sungguh, menjadi orang tua mereka adalah kesempatan emas bagi kita untuk menjadi temannya yang positif. Tanggung jawab kita adalah menemani mereka agar menemukan jalan hidupnya, sesuai dengan bakat dan cita-citanya.

Masing-masing mereka unik. Apa yang kelak terjadi, bila kita memperlakukan dan mendidik mereka laksana memproduksi barang di pabrik bagai sebuah industri yang digerakkan mesin.

Sistem ranking di sekolah telah menempatkan mereka sebagai obyek pendidikan. Pendidikan anak bagai industri dimana input masuk pada proses yang sama untuk menghasilkan keluaran yang dinilai melalui kontrol kualitas, lengkap dengan gradenya.

Sungguh beruntung bila kita bisa menemukan sekolah yang  memperlakukan keunikan masing-masing anak dengan jumlah rasio guru dan murid secara proporsional. Namun, tidak semua anak kita dapat memperoleh kesempatan seperti itu.

Para orang tua di rumahlah yang berkewajiban memberikan nilai tambah proses pembentukan anak. Mari terus belajar untuk menjadi teman terbaik bagi mereka, anak-anak kita. Termasuk, belajar mendidik dan menemani anak-anak agar menemukan jalan hidupnya.

Berapa banyak diantara kita yang memastikan jam-jam di rumah menjadi proses peningkatan nilai tambah itu? Seberapa peduli kita terhadap jam-jam tertentu dimana anak-anak kita dididik oleh televisi yang lebih banyak acara untuk dewasa, lengkap dengan kisah perselingkuhan selebritis, berita kriminal dan tawuran pelajar?

Sudahkah kita memastikan pilihan dan jam menonton televisi bagi anak? Anehnya, beberapa teman yang bekerja di industri televisi dan praktisi media, melarang anak-anaknya menonton TV.

Ada diantara mereka malah sengaja tidak menyediakan TV di rumah. Bila pun ada, mereka berlangganan TV kabel dengan pilihan saluran terkunci pada program-program tertentu saja.

Mari kita rawat raga dan jiwa anak-anak kita. Mari beri mereka kesempatan belajar sambil bermain sambil melatih tanggung jawabnya. Kita semua sedang belajar menjadi orang tua yang baik, sebagaimana mereka juga sedang belajar kehidupan.

Masa depan mereka bulan milik kita sepenuhnya, sebab mereka juga berhak memilih jalan masing-masing. Namun, tentu kita mengidamkan anak-anak berbudi pekerti dan berakhlak terpuji sebagai investasi buat kehidupan kita setelah kehidupan ini.

Anak soleh dan solehah yang mendoakan kedua orangtuanya, adalah salah satu amalan orang tua yang akan terus mengalir saat kita mati, Insya Allah. Mereka belajar memahami kehidupan, sebagaimana kita juga sejatinya harus terus belajar. Inilah proses belajar hidup yang sejati, tak kan pernah selesai sampai ajal menjemput kita, wallahu'lam. (***)

*) Pemerhati Kepemimpinan, tinggal di Bogor

Oleh Ahmad Mukhlis Yusuf
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009