Para tokoh nasional kini memang tidak sehari-hari memakai kupluk. Para juru dakwah juga demikian. AA Gym, misalnya, malah pakai “ubel-ubel” seperti Pangeran Diponegoro. Kupluk memang bukan klaim kalangan santri, tetapi siapa saja bebas memakai dan ju
Pada saat saya umroh ke Mekkah, sambil sembunyi-sembunyi saya bawa kamera di depan kakbah. Kadang-kadang leluasa, tetapi juga tidak untuk mengambil gambar di sana. Demikian pula untuk mengambil gambar di sekitar Masjidil Haram, kita harus menyesuaikan ada petugas yang melarang atau tidak.

Nah, hari itu agaknya susah, untuk ambil gambar. Saya naik ke lantai satu di Masjidil Haram itu, dan kemudian memotret saya sendiri dengan latar belakang kakbah. Tiba-tiba ada seseorang, kelihatannya dari Bangladesh, menyapa saya, menawarkan untuk memotret.

Rupanya ia memperhatikan apa yang saya lakukan dan tampak sungguh repot. Saya mengiyakannya, dan mulailah ia mengambil gambar saya. Saya mengucapkan terima kasih. Yang menarik, ketika ia bilang, “Kamu pasti orang Indonesia ya”.

Kok tahu? Ia lantas menunjuk peci alias kupluk saya. Walaupun ke Mekkah atau Medinah, saya konsisten memakai peci Indonesia, kupluk kebanggaan Bung Karno itu, bukan “peci atau kupluk haji”.  Kupluk merupakan salah satu identitas kita, selain banyak benda-benda lain, termasuk sarung dan batik –kalau batik, bahkan Nelson Mandela pun suka.

***
Soal kupluk di Indonesia, yang tampaknya juga populer di Malaysia dan Brunei Darussalam itu, berbeda kisahnya dibandingkan dengan fez di Turki.

Di Turki, Mustafa Kemal Attaturk melarang penggunaan fez, kopiahnya orang Turki, seperti tarbus yang ada sliwir-nya itu. Fez, tampaknya juga beberapa piranti kalangan tarekat, tergilas oleh revolusi Attaturk, karena ia dipandang sebagai simbol kekunoan alias kekolotan.

Attaturk ingin modernisasi, westernisasi dan sekularisasi secara radikal pada dekade-dekade awal revolusi Turki. Dikatakan radikal karena ia berupaya keras membabat habis simbol-simbol agama, bahkan memaksa azan dengan bahasa Turki.

Fez adalah salah satu korbannya. Di Indonesia kupluk, lebih eksis dan survive. Bahkan kupluk yang sudah menjadi bagian dari sejarah nasionalisme Indonesia itu, masih dihargai sebagai bagian dari formalitas kenegaraan. Foto presiden dan para anggota kabinet, selain yang perempuan, semuanya berjas dan berpeci.

Setiap kali presiden, tentu selain Megawati, berpidato secara resmi di DPR, juga berpeci. Jadi, di Indonesia, kupluk masih sangat dihargai, dibandingkan dengan fez di Turki.

Marilah kita bernostalgia sejenak. Pada zaman pergerakan, kupluk mulai populer dipakai oleh kaum pribumi. Tetapi, bukan berarti kupluk hendak menyaingi blangkon. Adapun tentang blangkon sendiri, tampaknya ia susah untuk dijadikan simbol nasional, mengingat terlalu lekat pada sosok priyayi Jawa-keraton.

Kupluk dianggap lebih menasional, dan kebetulan juga praktis. Tidak ada perdebatan bertele-tele antara golongan, katakan, Nasionalis dengan golongan Islam mengenai pemakaian kupluk ini. Beda dengan sarung, misalnya, yang sempat menjadi bahan olok-olok politisi yang tak suka dengan golongan Islam, khususnya yang tradisionalis.

Soal sarung ini, konon D.N. Aidit sebagai pembesar Partai Komunis Indonesia (PKI) memprovokasi Bung Karno agar membubarkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dengan mengatakan, “Kalau tidak bisa bubarkan HMI, pakai sarung saja! ”.

Dalam sebuah kolom Catatan Pinggir, Goenawan Mohamad, juga mencatat olok-olok itu disampaikan oleh seorang aktivis Partai Nasional Indonesia (PNI), setidaknya untuk menunjukkan bahwa sarung identik dengan kaum santri yang kolot. Tetapi, tentu saja semua itu telah mengalami pergeseran pada masa kini, bahwa sarung dan peci bukan lagi simbol kekolotan, bahkan malah simbol kelas menengah Muslim yang semarak di hari raya.

Dalam hal peci, para tokoh golongan Nasionalis juga mengenakannya –sebut saja misalnya Ali Satroamodjojo, bahkan tokoh ini berjenggot pula. Tidak demikian halnya dengan tokoh-tokoh Komunis. Dalam foto-fotonya dengan Bung Karno dan pada rapat-rapat akbar mereka, D.N Aidit, misalnya tak pernah tampak berkupluk.

Tentu saja yang tidak berkupluk tidak lantas kurang nasionalis. Sjahrir, misalnya, lebih banyak tidak berkupluk dibanding Bung Karno dan Bung Hatta. Gaya berpakaian para tokoh kita tempo dulu, tampaknya tak lepas dari kenecisan gaya berpakaian kaum penjajah, dan bagaimana mereka merespons modernitas.

Bung Karno selalu necis dalam berpakaian. Berjas mentereng seperti orang Barat, tetapi, ia tak melepaskan identitas ketimurannya: kupluk. Demikian juga yang lain, termasuk Haji Agus Salim. Yang juga unik, barangkali, modifikasi pakaian Jenderal Sudirman, berpakaian modern tetapi diselinggi kupluk dan blangkon secara bergantian –saya belum pernah melihat foto Pak Dirman memakai topi baja, misalnya.

Para tokoh nasional kini memang tidak sehari-hari memakai kupluk. Para juru dakwah juga demikian. AA Gym, misalnya, malah pakai “ubel-ubel” seperti Pangeran Diponegoro. Kupluk memang bukan klaim kalangan santri, tetapi siapa saja bebas memakai dan juga tak memakainya.

Kalau tokoh buruh Mochtar Pakpahan day to day memakai kupluk, bukan berarti ia seorang ulama. Mochtar sendiri non-Muslim. Di kalangan aktivis muda, tampaknya jarang sekali yang day to day memakai kupluk, kecuali barangkali Ray Rangkuti.

Ulama atau bukan memang tidak dapat dilihat dari pecinya, sorbannya, janggutnya, “ubel-ubel” Pangeran Diponegoro-nya, atau identitas-identitas lainnya yang khas. Simbol terkadang tak selalu mencerminkan substansi.

***
Di pasar-pasar tradisional Indonesia, kupluk sangat mudah didapat, walaupun ukuran 10 sesuai dengan ukuran kepala saya cukup susah. Rata-rata ukuran 7 sampai 9. Tapi, saya perlu mencatat bahwa kupluk kita itu, kian bersaing dengan kopiah-kopiah haji.

Di “pasar-pasar tumpah” halaman-halaman masjid pasca-sholat jumat, yang jual kupluk kian langka, seolah tergantikan dengan kopiah-kopiah haji yang lebih murah dan praktis.

Coba bandingkan dengan, lagi-lagi, fez. Sewaktu saya jalan-jalan di Istanbul, di sebuah pasar tempo dulu, saya mencoba mencari fez, tetapi setelah berputar-putar ke sana kemari, saya tidak mendapatkannya.

Tapi setelah pemerintah Turki berhasil menggulirkan referendum 12 September 2010, yang mengakhiri peran politik militer di sana : apakah fez akan muncul lagi? Entahlah. Yang jelas Turki kini tengah bergeser secara signifikan peta politiknya.

Kemalisme seolah telah direvisi secara radikal pasca-kemenangan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di bawah pimpinan Recep Tayyip Erdogan dan pasca-referendum amandemen konstitusi. Mungkin fez masih dianggap kuno, walaupun konon dulunya ia diambil dari para bangsawan Yunani. Tetapi, saya kira kalau fez muncul lagi, bukan merupakan penghalang nyata bagi upaya Turki untuk terdaftar sebagai anggota penuh Uni Eropa.

Muslim Turki dan Indonesia mayoritas di negerinya masing-masing. Tetapi kultur dan pengalaman politiknya lain. Keduanya memang bukan negara Islam, dalam arti menjadikan Islam sebagai dasar negara. Hubungan antara agama dan negara di Turki dan Indonesia juga mengalami dinamika yang berbeda.

Sekularisasi di Turki melibatkan negara dan dengan pendekatan yang keras pasca-jatuhnya Kekhalifahan Turki Usmani. Di Indonesia tidak sekeras itu, bahkan belakangan terkesan sangat cair. Barangkali karena itu, perilaku keberagamaannya juga “lain”.

Di Turki orang yang sudah naik haji, tak biasa disebut Pak atau Bu haji. Di Indonesia sebutan “haji” terkesan terobral. Para pedagang di pasar tradisional dekat rumah saya, nyaris selalu memanggil Pak atau Bu haji kepada para calon pembelinya.

Salah seorang kenalan saya di Turki, yang sudah cukup berumur dan anaknya sudah pada mandiri, menunggu dengan khusyuk di luar Masjid Biru, Istanbul. Kami sedang sholat di sana, kecuali ia. Kalau ramadan, katanya ia tak ikut puasa, tapi kalau buka ikut merayakannya. Tetapi, ia tak mau dibilang bukan Muslim. Semua orang Turki, katanya, adalah Muslim –walaupun mungkin hanya sekedar Muslim KTP.

Saya menduga gaya beragama seperti itu, sangat kuat dipengaruhi oleh praktik sekulerisme radikal oleh negara. Walaupun, imam dan khatib diurus oleh negara, tetapi tak ada masjid atau mushola di perkantoran-perkantoran pemerintah dan bahkan swasta di sana –kalah sama simbol-simbol Kemalisme.

Kenalan saya tadi keinginannya sebelum meninggal cuma satu : ia sempatkan dirinya untuk naik haji. Ini yang membuat saya terperanjat kaget. Tapi saya segera menyadari bahwa tentu ia tak berharap kelak kehajiannya dimaksudkan untuk meningkatkan status sosial, seperti yang masih mengemuka di Indonesia. Ia hanya ingin berhaji untuk menunjukkan bahwa dirinya, diam-diam, di hari tuanya, adalah seorang Muslim yang paripurna. Wallahua’lam. (***)

*M. Alfan Alfian, Dosen di Universitas Nasional, sedang melakukan riset mengenai perkembangan politik di Turki

Oleh Alfan Alfian
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010