Jakarta (ANTARA News) - Persatuan Insinyur Indonesia (PII) berkeinginan memunculkan indikator baru dalam bentuk indikator keberlanjutan pembangunan nasional untuk menghasilkan arah kemajuan pembangunan di Tanah Air.

Indikator tersebut akan memuat proses pembangunan dan hasil pembangunan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat banyak.

Indikator pembangunan nasional harus memuat beberapa hal seperti rasio infrastruktur, yang berisi berapa idealnya infrastruktur jalan kereta api, bandar udara, serta jaringan listrik.

PII juga menilai indikator lain yang diperlukan adalah rasio penelitian dan pengembangan, rasio penggunaan teknologi, rasio kepemilikan sumber daya alam dan manusia.

Indonesia sudah lama sekali memakai rasio yang konvensional dan ternyata tidak mengalami banyak kemajuan soal pembangunan, padahal Indonesia memiliki banyak kekayaan alam seperti China dan India.

Kondisi ini menjadikan PII menilai pemerintah perlu memiliki indikator baru untuk pembangunan nasional, sehingga pembangunan bisa lebih merata lagi.

Untuk mengetahui mengenai bentuk indikator pembangunan nasional apa yang diusulkan PII, wartawan ANTARA Ahmad Wijaya mewawancarai Ketua Umum PII Said Didu di ruang kerjanya yang terletak di bilangan Kebon Sirih, Jakarta Pusat.

ANTARA: Apa yang melatarbelakangi PII berkeinginan memunculkan indikator pembangunan nasional.

Said Didu: Indikator pembangunan nasional selalu dipakai oleh negara maju yang menurut saya agak didiktekan ke negara berkembang.

Indikator yang digunakan selalu makro ekonomi seperti inflasi, harga saham, nilai tukar dan defisit anggaran. Itu sesungguhnya tidak salah hanya saja menurut saya itu semua adalah hasil dari pembangunan. Kita tidak ada indikator yang digunakan untuk mengukur proses pembangunan dan hasil pembangunan.

Menurut saya ini perlu sehingga PII sedang memikirkan perlunya Indonesia memiliki indikator pembangunan nasional.

ANTARA: Indikator pembangunan seperti apa yang diinginkan oleh PII?

Said Didu: Sekarang ini PII berpikir memunculkan indikator baru dalam bentuk pembangunan nasional atau indikator keberlanjutan pembangunan.

Indikator ini menurut PII memuat proses pembangunan dan hasil pembangunan dan itu harus membuat beberapa hal. Muatan itu antara lain rasio infrastruktur yang berguna antara lain untuk mengetahui infrastruktur jalan kereta api dan bandara.

Indikator itu juga harus memuat rasio penelitian dan pengembangan, rasio penggunaan teknologi, rasio kepemilikan sumber daya supaya terjadi pemerataan. Juga rasio kredit, siapa-siapa yang sudah dapat kredit. Ini harus dibuka supaya masyarakat tahu.

Selain itu perlu rasio terhadap insinyur yang bekerja di bidangnya. Ini untuk mengetahui berapa banyak insinyur yang bekerja di bidangnya, mengingat saat ini banyak yang jadi politisi.

Kita sudah lama sekali memakai rasio yang konvensional tapi negara kita kok gak maju-maju. Padahal sebenarnya tidak ada orang yang tidak percaya bahwa Indonesia tidak memiliki, semua kita miliki.

Kondisi Indonesia hampir sama dengan India dan China, sama-sama memiliki sumber daya alam, tapi mereka lebih maju.

Orang terkaya di dunia datang dari India dan China, bahkan China yang komunis bisa menghasilkan orang kaya se dunia.

ANTARA: Apakah di Indonesia bisa pembangunan dan politik jadi satu?

Said Didu: Selama ini sudah banyak berbagai kebijakan mendasar yang dibuat dan sudah 12 tahun reformasi berjalan.

Menurut saya sudah saatnya membalikkan kembali pendulum yang terlalu ke politik menjadi agak ke tengah, yaitu pembangunan dan politik bukan pembangunan politik. Istilah saya pembangunan dan politik. Kita sudah 12 tahun pembangunan politik dan saya kira sudah cukup, jadi landasan demokrasi sudah bagus.

Saya juga sering katakan jabatan-jabatan profesional jangan selalu memakai kriteria politik, karena jabatan profesional tidak seharusnya menggunakan mekanisme politik.

Saya mencontohkan saat ini pemilihan imam masjid pun menggunakan cara politik dan ini sudah repot.

ANTARA: Melihat kondisi seperti itu, apakah anda optimistis jabatan profesional dan politis bisa dipisahkan?

Said Didu: Saya bercita-cita masyarakat profesional harus menyatu serta kembali memikirkan kepentingan rakyat dan pembangunan.

Tahun 1998 banyak masyarakat profesional beralih ke politik dan saya harapkan mereka sudah tahu bahwa 10-12 tahun lalu politik hanya menghasilkan kondisi untuk melakukan pembangunan, tidak melakukan pembangunan.

Kalau semua orang hanya menghasilkan kondisi maka tidak ada yang melakukan pembangunan.

ANTARA: Tapi kenyataannya masyarakat lebih menghormati tokoh politik?

Said Didu: Saya mengharapkan agar masyarakat mengubah penghormatan yang proporsional terhadap semua karir. Jangan setelah dia menjadi tokoh politik maka dia mendapatkan penghormatan lebih daripada seorang tokoh yang berkecimpung di bidang sosial.

Padahal seorang tokoh karir yang menemukan bibit unggul juga patut untuk mendapatkan penghormatan.

Mohon maaf, tokoh politik itu kan menghasilkan slogan, sementara tokoh karir menghasilkan alat untuk memberikan nilai tambah dan memajukan pembangunan.

Saya juga mengharapkan masyarakat profesional kembali bersatu untuk menghasilkan sesuatu untuk rakyat, biarkan politisi menghasilkan iklim politik.

ANTARA: Bisakah kita meniru indikator pembangunan negara lain?

Said Didu: Saya juga mengharapkan jangan terlalu "genit" untuk mengikuti indikator keuangan negara lain, karena berbeda sama sekali karakteristik satu negara dengan negara lain.

Negara kita jangan sampai memakai indikator ekonomi Singapura mengingat negara itu adalah negara dagang. Jangan sampai Indonesia memakai kebijakan negara lain karena kebijakan pemerintah RI sesuai karakteristik masyarakat dan negara Indonesia.

Kita tidak bisa mencontoh langsung Jepang secara utuh karena karakter dan budaya berbeda.

Problem kita yang kita hadapi sekarang adalah, dulu ada GBHN yang merencanakan program pembangunan jangka panjang, menengah dan pendek.

Saat itu kalau dengan ada GBHN kita sudah tahu dalam lima tahun akan ada pembangunan apa, dalam 25 tahun akan ada pembangunan apa. Tapi sekarang tidak ada.

ANTARA: Jadi sebaiknya pemerintah harus bagaimana?

Said Didu: Perlu menjadi kesepakatan politik bahwa indikator pembangunan Indonesia harus ditinjau ulang atau kalau memang sudah ada ditambahkan indikator yang lain seperti indikator keberlanjutan pembangunan, yaitu proses pembangunan dan hasil pembangunan.

Pemerintah sekarang menyatakan berbasis kinerja, yang intinya masih berbasis menyerap anggaran, sehingga orang yang bisa menghemat justru kena denda dan tahun depan anggarannya akan dipotong.

Sebaliknya kalau belanja suatu instansi berlebihan maka tahun depan anggarannya ditambah. Ini lucu kan?

ANTARA: Apa usulan PII untuk meningkatkan indikator pembangunan nasional?

Said Didu: Mengajak masyarakat profesional seperti para ekonom, insinyur, dokter, profesional bidang sosial itu kita keluar dari politik dan membuat masyarakat profesional yang berpikir melaksanakan pembangunan untuk kesejahteraan rakyat.

Masyarakat profesional itu harus menjadi mitra dengan masyarakat politik. Masyarakat politik jangan terlalu mendominasi dan jangan sampai apa kata politik maka itu yang terjadi.

Kalau ada masyarakat politik mengambil peran masyarakat profesional, itu karena masyarakat tidak memberikan penghormatan kepada masyarakat profesional.

ANTARA: Siapa yang paling berperan untuk mengangkat masyarakat profesional?

Said Didu: Media. Karena yang terjadi saai ini adalah media terlalu banyak mengangkat masyarakat politik, jarang sekali mengkat masyarakat profesional.

Saya ambil contoh kalau ada kunjungan tokoh politik ke luar negeri untuk bertemu dengan tokoh politik negara lain, langsung dalam beberapa detik beritanya sudah tersebar kemana-mana.

Tapi coba saja perhatikan kalau ada juara perlombaan kelas dunia yang dimenangkan oleh masyarakat profesional maka tidak ada yang memberitakan.

Untuk itu media diminta juga angkat prestasi masyarakat profesional, supaya jangan semua masalah politik yang diangkat.

Saya kira masyarakat juga sudah bosan dengan berita-berita politik yang terus-menerus diangkat oleh media.
(A025/B010)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010