Jakarta (ANTARA News) - Pengamat Politik Charta Politika Yunanto Wijaya mengatakan proses pencalonan Kapolri saat ini yang penuh dengan tarik menarik kepentingan akibat adanya anomali (penyimpangan) demokrasi.

"Ini buah dari anomali demokrasi, sampai kapanpun pertarungan politik ini akan terjadi dalam pemilihan kapolri, main goyang, dan sampai kapanpun akan bermasalah seperti ini," katanya di Jakarta, Selasa, menanggapi adanya aksi penolakan pengajuan calon Kapolri Komjend Polisi Timur Pradopo di legislatif.

Menurut dia, pencalonan jabatan kapolri memang sangat terbuka bagi kepentingan politik untuk bermain. Hal ini karena adanya penafsiran yang tidak tepat terkait jabatan Kapolri dalam demokrasi presidensial di Indonesia.

Ia mengatakan, Kapolri yang berada langsung di bawah Presiden, setingkat menteri, ditafsirkan sebagai fungsi politik di bawah Presiden sebagai kepala pemerintahan. Hal ini menimbulkan intepretasi bersifat politis.

"Padahal seharusnya kapolri di bawah fungsi presiden sebagai kepala negara yang bersifat non politis sebagai aparat penegak hukum," katanya.

Menurut dia, dengan pemahaman tersebut, maka proses pemilihan Kapolri menjadi negosiasi antara eksekutif dan legislatif. Presiden yang memiliki hak prerogatif mengajukan calon Kapolri sementara DPR (legislatif) menjadi penentu terpilihnya Kapolri.

Alhasil, pertarungan antar kepentingan eksekutif, legislatif maupun partai politik sulit dihindarkan. Apalagi menurut dia, saat ini sistem multipartai tanpa mayoritas tunggal yang berarti Presiden sebagai kepala pemerintah yang berkuasa harus berbagi kursi dengan partai-partai yang lain.

"Partai-partai yang punya kursi di DPR tentunya akan melakukan lobi pertarungan politik untuk memilih calon kapolri yang memiliki kedekatan dengan dirinya atau yang disukai partainya, apalagi DPR punya kewenangan untuk menentukan," katanya.

Sehingga, menurut dia, tidak mengherankan bila kemudian pencalonan Komjend Polisi Timur Pradopo menjadi Kapolri oleh Presiden mendapatkan penolakan dari partai-partai politik yang tidak sepakat.

"Apalagi sebelumnya partai-partai politik telah menggadang-gadang dua nama yang terus disebut-sebut, Imam Sudjarwo dan Nanan Soekarna," katanya.

Ditambah lagi, menurut dia, adanya proses yang memaksakan Timur Pradopo naik pangkat menjadi Komjend agar bisa diajukan menjadi calon Kapolri (sesuai dengan UU no 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia) beberapa jam sebelum diajukan oleh Presiden.

Selain itu, ia menambahkan, pertemuan pimpinan DPR dengan Calon Kapolri Komjend Polisi Timur Pradopo secara tertutup juga dijadikan amunisi bagi anggota DPR terutama Komisi III yang ditugasi untuk uji kelayakan dan kepatutan menyerang calon Kapolri tersebut.

"Tidak heran muncul mosi tidak percaya dari anggota Komisi III yang dipelopori Gayus Lumbuun," katanya.

Untuk itu, menurut dia, sebaiknya posisi Kapolri haruslah dijelaskan. Pertama Kapolri merupakan alat keamanan negara di bawah fungsi presiden sebagai kepala negara.

Ini berarti Presiden sebagai kepala negara memiliki hak prerogatif penuh untuk memilih Kapolri, dan legislatif hanya memberikan persetujuan.

Atau, menurut dia, mengubah lembaga kepolisian menjadi di bawah departemen dalam negeri dan pucuk pimpinannya sebagai jabatan karier. (ANT/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010