Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah tidak perlu menanggapi rekomendasi Konferensi Tingkat Tinggi Asosiasi Pengendalian Tembakau Asia Pasifik ("The Asia Pacific Association for the Control of Tobacco"-APACT) jika hasilnya justru merugikan masyarakat kecil.

Masyarakat kecil dimaksud, khususnya petani tembakau, buruh pabrik rokok, dan industri kecil yang memanfaatkan tembakau, kata Ketua Kominfo dan Publikasi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Sulthan Fatoni di Jakarta, Senin.

Ia menuturkan, akhir-akhir ini kampanye antitembakau semakin gencar dilakukan tanpa memedulikan psikologi masyarakat Indonesia, khususnya petani tembakau, buruh, dan industri kecil rokok yang bertebaran di pelosok desa.

"Masyarakat, khususnya warga NU, selama ini memahami tembakau sebagai komoditas yang menguntungkan, sehingga sebagian besar petani tembakau adalah warga NU," ujarnya.

Oleh karena itu, kata Sulthon, pihaknya akan mengusulkan kepada PBNU untuk melakukan kajian tentang tembakau yang hasilnya nanti disampaikan kepada pemerintah sebagai masukan dalam pembuatan kebijakan.

Kajian itu, lanjutnya, setidaknya menyangkut aspek kesejarahan, kesejahteraan, kesehatan, serta bagaimana Islam menghukumi orang merokok.

"Hasil kajian dan riset ini akan diserahkan kepada pemerintah agar kebijakan apapun tentang tembakau tidak diputuskan karena tekanan, tapi karena kepentingan masyarakat," kata Sulthon menegaskan.

KTT APACT yang digelar di Sidney, Australia, dalam salah satu rekomendasinya mendesak Indonesia agar segera meratifikasi "Framework Convention on Tobacco Control" (FCTC) Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Jika tidak mengendalikan konsumsi tembakau, Indonesia dianggap menciptakan bencana kesehatan masyarakat dan menyabotase upaya pengendalian tembakau yang dilakukan negara-negara lain.

Menanggapi hal itu, Sulthon mengatakan, penilaian Indonesia menciptakan bencana kesehatan gara-gara tidak meratifikasi FCTC WHO terlalu berlebihan.

"Belum diratifikasinya FCTC bukan berarti bencana bagi kesehatan masyarakat, tapi bentuk kehati-hatian pemerintah melindungi kepentingan masyarakatnya," katanya.

Beberapa waktu lalu, sejumlah aktivis LSM dan pengamat ekonomi politik menyatakan perlu adanya sebuah kebijakan politik yang benar-benar mengakomodasi sebanyak-banyaknya kepentingan rakyat dalam menghadapi kampanye antitembakau.

Mereka mengingatkan adanya fakta bahwa sekira enam juta lebih rakyat Indonesia menggantungkan hidupnya pada tembakau dengan segala industrinya.

"Siapa yang memberikan jaminan hak hidup jutaan rakyat, khususnya kaum petani serta buruh, jika hari ini kita bebaskan Indonesia dari tembakau? Apakah pihak-pihak yang mengkampanyekan agenda antitembakau itu ? Apakah pihak-pihak yang membiayai kampanye antitembakau itu? Mereka sendiri sibuk meraup keuntungan dari kampanye antitembakau," kata pengamat ekonomi politik Gabriel Mahal.
(ANT/A024)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010