Pangkalpinang (ANTARA News) - Pengusaha timah di Provinsi Bangka Belitung (Babel), membutuhkan kepastian hukum untuk memudahkan dalam menjalankan bisnis biji timah.

"Selama ini belum ada kepastian hukum, sehingga menyulitkan pengembangan usaha timah," kata mantan pengurus Asosiasi Timah Indonesia (AITI) Babel, Apik Rasjidi di Pangkalpinang, Sabtu.

Menurut dia, aturan yang dibuat selalu "mencari celah" yang menyulitkan pengusaha sehingga tidak mungkin terus bertahan.

"Ada beberapa aturan yang tumpang tindih, seperti aturan yang menggabungkan antara kegiatan penambangan dan kegiatan peleburan," ujarnya.

Menurut dia, dua hal itu merupakan domain yang berbeda dan tidak bisa digabungkan karena bisa menyalahi undang-undang lain yaitu undang-undang monopoli.

"Apalagi dari dua kegiatan tersebut membutuhkan skill yang berbeda, kegiatan penambangan pastinya membutuh skill spesifik, kegiatan peleburan juga butuh skill berlainan, dua hal yang berbeda, tidak bisa digabungkan," ujarnya.

Ia mengatakan, pada Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba) 2009 ada beberapa klausul yang cukup menyulitkan untuk melakukan kegiatan pertambangan.

"Seperti klausul yang mengatur tentang Kuasa Pertambangan, bahwa setiap kegiatan penambangan harus di atas 50.000 hektare, sekarang ini sudah sulit mencari lahan seluas itu," katanya.

Menurut dia, UU Minerba lebih berpihak kepada pemilik modal besar, tidak berpihak para penambang rakyat di Babel.

"Bagi saya Undang-Undang no 11 tahun 1967 lebih merakyat dibandingkan UU Minerba, ada klausul di dalam undang-undang tersebut yang cukup berpihak kepada rakyat," ujarnya.  (HDI/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010