Banda Aceh (ANTARA News) - Dalam beberapa pekan terakhir Aceh kembali diterpa isu lingkungan setelah mencuatnya konflik satwa dengan manusia di sejumlah daerah di provinsi itu.

Bahkan, konflik satwa dan manusia telah menyebabkan jatuhnya korban jiwa menyusul tewasnya seorang pencari rotan di kawasan pegunungan Serindit, Kecamatan Tapaktuan Kabupaten Aceh Selatan, pekan lalu.

Martunis (25), warga Desa Panton Luas, Kecamatan Tapaktuan, ditemukan tewas dengan kondisi mengenaskan dimangsa harimau sumatra (panthera tigris sumatrae), sekitar 10 kilometer dari pusat kota Tapaktuan, ibukota Kabupaten Aceh Selatan.

Tidak hanya harimau, tapi gajah sumatra (elephas maximus sumatranus) juga turun dan memporak-porandakan lahan pertanian serta perkebunan penduduk di sejumlah wilayah di provinsi ujung paling barat Indonesia itu.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Abubakar Cekmad, menyebutkan salah satu indikasi keluarnya gajah dan harimau dari habitatnya disebabkan aksi penambangan dan pembalakan liar di dalam hutan, seperti di Kabupaten Aceh Selatan dan beberapa daerah lainnya.

"Perlu kami informasikan bahwa aksi penambangan liar di dalam hutan seperti di kawasan Geumpang (Pidie) dan Aceh Selatan menjadi penyebab harimau itu ke luar dari sarangnya dan masuk ke permukiman penduduk," kata dia menjelaskan.

Di Aceh Selatan, Abubakar Cekmad menyebutkan kawanan harimau juga sering berkeliaran dan memangsa ternak warga di Desa Jambo Papeun, Kecamatan Meukek, sekitar 25 km arah barat Gunung Serindit, Panton Luas Tapaktuan.

Oleh karena itu, ia mengimbau Pemerintah Aceh untuk segera menertibkan penambangan liar yang marak terjadi di kawasan hutan di sejumlah daerah di provinsi itu.

"Saya telah menginformasi kepada Pemerintah Aceh melalui instansi terkait untuk menertibkan penambang liar yang beroperasi di sejumlah kawasan hutan di Aceh," kata Kepala BKSDA Aceh, Abubakar Cekmad.

BKSDA Aceh mengalami kesulitan dan menggiring kembali atau menangkap harimau yang berkeliaran di wilayah yang berdekatan dengan permukiman penduduk itu karena kekurangan pawang.

BKSDA yang masih berstatus UPTD Kementerian Kehutanan di Aceh itu hanya memiliki seorang pawang harimau yang berusia sekitar 65 tahun, sementara daerah gangguannya cukup luas dan tidak terkosentrasi pada satu tempat.

"Artinya dengan seorang pawang harus mengusir beberapa tempat yang berbeda, sementara gangguannya terkadang hampir bersamaan. Tapi, yang paling penting adalah mencegah jangan sampai menelan korban manusia, dengan tidak merusak habitat binatang dilindungi itu," kata dia.

Aksi penambangan liar di sejumlah daerah juga telah menelan korban jiwa, akibat tertimbun runtuhan galian dari para penambang itu sendiri seperti di Kecamatan Sawang dan Kluet Tengah, Aceh Selatan, beberapa bulan lalu.

Selain itu, aksi penambangan emas di Gunong Ujeun, Kabupaten Aceh juga merenggut korban jiwa setelah beberapa penambang tewas tertimbun.



Rawan bencana



Ketua Institut Hijau Indonesia, Chalid Muhammad minta Pemerintah Aceh agar bertindak tegas menutup tambang rakyat yang mulai marak karena kegiatan tersebut rawan bencana alam geologi.

"Secara geologi, Aceh berada di jalur patahan dan kondisi itu sangat rentan dan rawan bencana bila usaha tambang rakyat terus dibiarkan berkembang," katanya.

Suka atau tidak suka, maka pemerintah harus segera menertibkan tambang rakyat tanpa melakukan pelanggaran HAM, dan mendorong usaha-usaha produktif bagi pertumbuhan rakyat.

Pemerintah juga berkewajiban memberi pemahaman bagi masyarakat, karena kalau dibiarkan terus menerus, maka Aceh akan dibanjiri pendatang dan aksi penambangan itu akan semakin tidak bisa dikontrol.

Selain itu, Chalid juga menyarankan Pemerintah Aceh agar mencabut dan membekukan izin pertambangan bagi sejumlah perusahaan yang sudah beroperasi di provinsi berpenduduk sekitar 4,6 juta jiwa tersebut.

"Selain menimbulkan konflik, daerah-daerah pertambangan ini sangat tidak cocok untuk dijadikan kawasan pertambangan, karena menimbulkan polusi dan konflik di masyarakat," katanya.

Dengan potensi Aceh yang kaya akan sumber daya mineral, Aceh bukan tidak mungkin membuka areal pertambangan.

"Namun dihitung dan diteliti dulu secara seksama, ajak semua pihak, berapa ambang toleransi tambang di Aceh ini, jika memang perhitungannya tepat dan bisa dilakukan penambangan, mungkin bisa saja dibuka sebuah pertambangan," katanya.

Kendati demikian, kata Chalid, akan jauh lebih konkret jika pemerintah lebih terfokus pada visi pembangunan `Aceh Green`, dengan terus mendorong usaha pertanian, budidaya tanaman yang dikelola oleh rakyat sebagai prioritas.

"Karena bisa jauh lebih bermanfaat bagi rakyat dan menyejahterakan, lebih kecil risikonya dan ramah lingkungan. Jika gubernur mendorong pertanian organik itu akan jauh bisa dikenal di dunia, dan ini jauh lebih besar nilai ekonominya," ujar Chalid.

Pemerintah Aceh mengaku kewalahan mengatasi dan menertibkan pertambangan rakyat yang kini terus menjamur di sejumlah daerah berpotensi kandungan emas dan bijih besi.

Kepala seksi Pengusahaan Pertambangan Dinas Pertambangan dan Energi Aceh Mahdinur mengakui, pemerintah sudah melakukan upaya untuk mengalihkan warga agar tidak lagi melakukan penambangan yang tidak aman.

"Padahal, sudah ada beberapa kasus yang menelan korban jiwa, seperti di Kecamatan Sawang dan Menggamat, Kabupaten Aceh Selatan, namun itu belum memberi efek jera kepada warga," ujarnya.

Pascamusibah tsunami yang melanda Provinsi Aceh akhir tahun 2004, penambangan rakyat mulai marak. Di banyak lokasi di kawasan pantai barat Aceh ditemukan kandungan mineral yang berpotensi tinggi, seperti emas dan bijih besi.

Menurut Mahdinur, sedikitnya ada tiga kabupaten di Aceh yang kini marak dengan penambangan rakyat, yaitu Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Selatan dan Kabupaten Pidie.

"Pemerintah akan terus berusaha memberi pengarahan kepada masyarakat agar bisa mengurangi aktivitas penambangan tidak aman, sehingga bisa mengurangi risiko kematian bagi masyarakat," kata Mahdinur.

Sementara itu, kata Mahdinur, untuk lokasi dan perusahaan tambang yang sudah ada izin pun pemerintah masih sangat berhati-hati untuk memberi kesempatan perusahaan melakukan penambangan, mengingat kondisi topografi Aceh yang rawan bencana.

Hingga Juli 2010 tercatat ada 96 pertambangan di Aceh yang sudah mengantongi izin usaha produksi (IUP), yang terdiri dari 18 perusahaan dengan IUP produksi dan 78 perusahaan dengan IUP eksplorasi.

Seorang bijak mengatakan jika hasil bumi dikelola dengan bijaksana dan terukur maka akan membawa rahmat bagi penghuni dunia, sebaliknya keserakahan akan menuai malapetaka. (A042/K004)

Oleh Oleh Azhari
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010