Pangkalpinang (ANTARA News) - Rektor Universitas Bangka Belitung (UBB), Prof.Dr Bustami Rahman, menilai, belum saatnya mahasiswa meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mundur karena belum sampai gagal menjalankan amanat konstitusi.

"Belum saatnya mahasiswa minta Presiden SBY mundur menyikapi satu tahun kepemimpinan SBY-Budiono, karena belum sampai gagal memimpin rakyat dan menjalankan konstitusi, tidak seperti saat melengserkan Presiden Soeharto yang memang sudah sampai pada titik puncak ketidakpuasan," katanya di Pangkalpinang, Rabu.

Penilaian itu dikemukakannya sehubungan dengan aksi unjuk rasa yang dilakukan para mahasiswa di sejumlah daerah, meminta SBY mundur karena dinilai belum berpihak kepada rakyat seperti perekonomian dan supremasi hukum.

Bustami mengatakan, gerakan mahasiswa saat melengserkan Soeharto sebagai kepala negara sudah sampai pada titik puncaknya sehingga mereka berhasil menjatuhkan presiden dari jabatanya.

"Gerakan mahasiswa saat melengserkan Soeharto sudah melalui titik proses yang pada akhirnya sampai pada titik puncak atau sudah saatnya sehingga pergerakan masa mampu membuat presiden mundur dari jabatannya," ujarnya.

Namun, kata dia, gerakan mahasiswa meminta Presiden SBY mundur belum saatnya karena belum sampai pada titik kumulasi atau subtansi dari apa yang menjadi keinginan dan tuntutan.

"Saya menilai gerakan mahasiswa ini tidak sampai melengserkan Presiden SBY karena tidak ada subtansi yang dibicarakan. Jika SBY gagal dimana letak kegagalannya, apakah SBY tidak menjalankan amanat konstitusi," ujarnya dengan nada bertanya.

Jadi, kata dia gerakan mahasiswa hanya "kegenitan" saja karena belum sampai pada titik kumulasi sehingga membuat Presiden SBY mundur dari jabatannya.

"Ini gerakan sia-sia, gerakan yang bisa saja dimanfaatkan oleh kalangan politik tertentu maka diminta kerja keras aparat keamanan untuk bisa meredam tindakan anarkis di lapangan," ujarnya.

Menurut dia, gerakan mahasiswa dengan berunjuk rasa di berbagai daerah menyikapi satu tahun kepemimpinan Presiden SBY atau dikenal dengan gerakan 20 Oktober adalah gerakan horizontal saja.

"Ini hanya gerakan horizontal saja, tidak gerakan vertikal namun diharapkan unjuk rasa tidak berunjung anarkis dan kerusuhan sehingga memacetkan sektor perekonomian," ujarnya.

Namun demikian, kata dia, harus diakui secara jujur setiap periode kepemimpinan di republik ini pasti ada penilaian objektif apakah kinerja setelah diberikan mandat sudah dilaksanakan dengan baik atau tidak.

"Kondisi ini sudah biasa dalam percaturan politik bangsa, mesti ada gerakan baik dilakukan oposisi formal dan jalanan sebagai koreksi terhadap pemerintah, kecuali sistem demokrasi yang diberlakukan dibatasi," ujarnya.

Menurut dia, di Indonesia demokrasi lebih cenderung kepada "liberalisme", sehingga wajar terjadi aksi sebagai konsekuensi dari suatu kebebasan luar biasa.

"Saya kira sistem yang memberikan peluang secara leluasa untuk menyuarakan opini, oposisi dan kritik yang keras terhadap pemerintah," ujarnya.

Menurut dia, setiap kepala negara di republik ini selalu dianggap gagal sehingga suatu waktu komponen berkumpul menyuarakan aspirasi karena mereka melihat ada ketidakadilan dan ketidakseimbangan. (HDI/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010