Dengan setia, Nur Robi`ah membawa Lailia Firlana, puteri semata wayangya berkeliling ruangan. Anak berusia 13 tahun itu digendongnya dengan selendang, layaknya seorang bayi.

Sesekali, Nur mengajak Laili berbicara, menunjukkan gambar-gambar di dinding.

Ia pun bolak-balik membetulkan posisi gendongan karena kaki Laili yang menjuntai lunglai kerap membuatnya merosot.

Nur begitu tanggap dengan keinginan Laili, saat buah hatinya yang mengeluarkan suara tanpa kata.

Bibirnya senantiasa tersenyum, termasuk saat ia menyatakan puterinya terdiagnosa Cerebral Palsy (CP), suatu kondisi terganggunya fungsi otak dan jaringan syaraf yang disebut sebagai lumpuh otak.

Nur hanyalah satu dari 10 orangtua anak-anak berkebutuhan khusus yang hadir pada diskusi "Kajian Implementasi Kebijakan Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)".

Acara itu merupakan bagian dari program Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang digelar di aula Abraham Maslow, Fakultas Psikologi (FPsi) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya (22/10).

"Kami ingin melihat sejauh mana kebijakan-kebijakan yang ada selama ini diimplementasikan dan apa yang jadi harapan dari masyarakat dengan ABK," kata Ketua Kajian Implementasi Kebijakan Penanganan ABK, R Rr Muryantinah Mulyo H S.Psi M.Psych.

Hasil diskusi itu, katanya, akan disampaikan kepada Kementerian dan menjadi masukan dalam merumuskan "payung kebijakan" untuk ABK ke depan.

Program itu diselenggarakan di empat wilayah, yaitu Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, dan DKI Jakarta, bekerja sama dengan perguruan tinggi setempat.

Dalam dengar pendapat pada acara itu, beberapa orang tua tampak menitikkan air mata. Secara bergiliran, satu per satu dari mereka bercerita tentang anak-anak yang sepakat mereka sebut sebagai anak-anak istimewa itu.

Menurut Wikipedia, anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik.

Kategori ABK, antara lain tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan.



Diskriminasi Lingkungan-Layanan

Perilaku diskriminatif dari lingkungan merupakan salah satu beban terbesar yang dirasakan para orang tua.

"Anak saya sebenarnya ingin kumpul dengan teman-temannya, namun mereka malah lari. Tetangga pun menutup pintu saat tahu anak saya keluar rumah," tutur Yuliati, ibu dari anak tuna grahita.

Bahkan, dua dari para ibu yang hadir menyatakan, suami-suami dan keluarga besar mereka tidak bisa menerima kondisi anak kandungnya sendiri.

"Kami ingin ada sosialisasi di masyarakat tentang anak-anak berkebutuhan khusus agar mereka mengerti," ujar salah seorang peserta.

Para orang tua juga mengeluhkan layanan-layanan pemerintah yang belum sepenuhnya memihak kepada keistimewaan itu.

Akses kesehatan di lini terbawah seperti posyandu, misalnya, mereka anggap belum memiliki program-program khusus bagi ABK.

"Layanan-layanan yang kami dapatkan selama ini masih terbatas pada layanan berbayar yang tidak bisa dikategorikan murah," paparnya.

Sepuluh tahun lalu, kata seorang ibu, dirinya membawa anaknya terapi dengan biaya sebesar Rp50 ribu.

"Saya tidak bisa membayangkan, berapa harga terapi saat ini. Saya nggak sanggup, mbak," terang Nur yang hingga kini masih menyimpan harapan untuk melihat puterinya bisa berjalan.

Dalam hal pendidikan, para orang tua itu mengharapkan adanya kurikulum yang tepat untuk ABK yang membutuhkan suatu pendekatan berbeda dan bertumpu pada kemampuan dan minat.

Tak ayal, masa depan anak-anak mereka adalah yang paling menjadi kegundahan bagi para orang tua.

"Bagaimana nasib anak-anak kami saat kami meninggal? Kalau boleh meminta, jangan ambil nyawa saya dulu sebelum anak saya," tukas Yuliati, menerawang. (E011/K004)

Oleh Oleh Edy M Ya`kub
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010