Lampu listrik mulai "byar pet" terus menerus setelah pejabat salah satu kecamatan di lereng barat Gunung Merapi malam itu meninggalkan salah satu desa terakhir.

Ketika itu, ratusan siswa berasal dari salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) Cirebon, Jawa Barat, secara bergantian pentas kesenian secara spontan di bawah tempat beratap anyaman dedaunan kering dan pancangan sejumlah tiang bambu di pekarangan setempat.

Malam yang nyaris menyentuh pukul 22.00 WIB itu membuat tim "live in" setempat mengumumkan kepada mereka untuk memastikan lampu listrik bakal nyala lagi karena anggotanya bergegas menyalakan generator.

Puluhan siswa memainkan senter dari berbagai tempat duduk masing-masing sehingga situasi terkesan artistis di tengah kegelapan tempat itu.

Seorang siswa maju ke tengah pekarangan itu, duduk bersila, dan mulai memetik gitar. Seluruh siswa yang berpakaian bebas dengan masing-masing berbalut kain batik itu bersama-sama menyanyikan sebuah lagu seiring petikan gitar di tengah kegelapan tersebut.

Sekolah asal Cirebon itu, untuk kedua kalinya pada 2010 mengirim murid-muridnya ke desa itu untuk belajar menyentuh keakraban alam Merapi dengan kehidupan warganya di desa terakhir itu.

Mereka selama tiga hari terakhir menjalani program "live in" yang dikelola "Tim Live In Tuk Mancur", komunitas masyarakat Dusun Tangkil, Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.

Tentu mereka tidak menyangka, sehari ketika tiba di desa terakhir itu, ternyata Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta mengumumkan kenaikan status aktivitas vulkanik Gunung Merapi dari "waspada" menjadi "siaga". Status Merapi meliputi "aktif normal", "waspada", "siaga", dan "awas".

"Anak-anak tahu juga kalau Merapi meningkat, tetapi justru menjadi materi kami ketika bicara kedalaman hati kami menghadapi situasi Merapi seperti ini, kegiatan kami juga sepengetahuan aparat pemerintah ," kata salah seorang anggota "Tim Live In Tuk Mancur" yang juga petani Merapi, Longgar.

Selama tiga hari dua malam, mereka dengan didampingi sejumlah gurunya antara lain menjalani program tinggal bersama di sejumlah keluarga petani desa terakhir Merapi, susur sungai untuk mengenal alam, dan pentas kesenian secara spontan.

Kedatangan pejabat kecamatan setempat itu agaknya untuk mengecek aktivitas ratusan tamu dari luar daerah setempat di lokasi yang termasuk kawasan rawan bencana Merapi. Dia ditemui sejumlah anggota tim "live in" tersebut.

"Tidak ada pembicaraan khusus, hanya tanya-tanya tentang kegiatan kami, kami berikan penjelasan apa adanya," kata Goro, salah seorang anggota tim itu.

Goro yang juga pegiat kelompok "Pasak Merapi", komunitas relawan penanggulangan bencana letusan Merapi itu mengatakan, kewaspadaan atas erupsi Merapi tetap dilakukan warga setempat.

Meskipun hingga saat ini mereka masih beraktivitas seperti hari biasa antara lain mengolah sawah dan ladang, mencari rumput untuk ternak, dan kayu bakar untuk keperluan rumah tangga.

Masyarakat lereng Merapi kini lebih intensif memperhatikan perkembangan aktivitas vulkanik gunung itu baik secara langsung melalui berbagai tanda alam maupun informasi dari BPPTK yang disampaikan kepada pemerintah kabupaten setempat dan diteruskan hingga pemerintah desa, serta masyarakat.

"Sudah kami terima informasi kalau statusnya sekarang `siaga`," kata warga Dusun Gemer, Desa Ngargomulyo, Longgar.

Ia mengatakan, warga dusun setempat yang berjarak sekitar 10 kilometer dari puncak Merapi itu juga beraktivitas seperti hari biasa, meskipun status Merapi saat ini "siaga".

"Selain menggarap sawah dan ladang, juga mencari rumput dan kayu bakar seperti hari biasa di hutan pinus dan gunung, sekitar empat kilometer barat puncak Merapi," katanya.

Warga setempat biasanya mengungsi ke tempat aman jika Merapi berada di puncak krisis yang antara lain ditandai dengan semburan awan panas, hujan abu, dan guguran lava pijar.

Sejak beberapa hari terakhir, katanya, dirinya mendengar suara dari puncak Merapi yang kemungkinan guguran material. Ia menyebut suara itu sebagai "geludak-geluduk".

"Itu suara biasa kalau Merapi meningkat aktivitasnya, tetapi hingga saat ini belum keluar semburan awan panas dan lava pijar," katanya.

Ia mengaku, tidak merasa cemas terhadap kemungkinan bencana Merapi meskipun saat ini statusnya "siaga".

"Kami sudah mendapat penjelasan dari aparat desa untuk tempat pengungsian yakni di Lapangan Dukun. Kalau informasi angkutan untuk mengungsi sampai sekarang belum jelas, tetapi biasanya kalau sudah disuruh mengungsi, sudah disiapkan truk," katanya.

Seorang petani lereng Merapi lainnya di Dusun Grogol, Desa Mangunsoko, Kecamatan Dukun, Sutar, mengatakan, aktivitas vulkanik Merapi terkadang memang membahayakan keselamatan warga setempat.

Tetapi, katanya, erupsi Merapi itu juga menjadi harapan berkah bagi kehidupan mereka terutama kalangan petani setempat karena lahan pertanian menjadi subur oleh abu vulkaniknya dan materialnya sebagai tambahan deposit bagi aktivitas penambangan.

Sutar yang juga pegiat komunitas Gubung Selo Merapi (GSPi) Dusun Grotol itu menyatakan perlunya semua pihak menyikapi Merapi secara arif dan memperhatikan berbagai tanda baik yang diberikan oleh alam maupun pemerintah.

"Jika memang situasi makin kritis, tentu warga akan mengungsi, dan kami tahu kalau pemerintah telah menyiapkan segala kebutuhan pengungsian," katanya.


Kesiapan Penanggulangan Becana

Aparat pemerintah kabupaten yang wilayahnya meliputi Gunung Merapi yakni Kabupaten Magelang, Klaten, dan Boyolali (Jateng), serta Sleman (Daerah Istimewa Yogyakarta) telah melakukan berbagai persiapan untuk penanggulangan bencana Merapi.

Kepala Bidang Penanggulangan Bencana Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Penanggulangan Bencana Pemerintah Kabupaten Magelang, Heri Prawoto, mengatakan, petugas posko di berbagai desa rawan bencana Merapi telah siaga dan terus berkoordinasi terutama melalui radio komunikasi.

Jumlah posko penanggulangan bencana Merapi di wilayah Kabupaten Magelang sebanyak 19 unit, sedangkan posko kecamatan enam unit, posko kabupaten dua unit, sedangkan jumlah total warga Magelang di kawasan Merapi mencapai 34.978 jiwa. Mereka tinggal di 19 desa di tiga kecamatan yakni Srumbung, Dukun, dan Sawangan.

Sekitar tujuh ribu warga Magelang akan dievakuasi paling awal dari desa masing-masing menuju ke berbagai tempat pengungsian yang telah disiapkan pemda setempat karena mereka tinggal di kawasan relatif paling berbahaya jika terjadi erupsi Merapi.

Ia mengatakan, hingga saat ini tidak terjadi kepanikan warga lereng Merapi terkait dengan status "siaga" karena mereka telah memahami soal peringatan dini.

"Mereka meningkatkan kewaspadaan tetapi tidak terjadi kepanikan, mereka tahu posisi, kami sudah menyosialisasikan tentang peringatan dini bencana Merapi," katanya.

Kepala BPPTK, Subandriyo, mengatakan, perkembangan aktivitas vulkanik Gunung Merapi yang saat ini sangat cepat menuju puncak kritis sebagai tidak lazim seperti masa menjelang puncak erupsi beberapa tahun terakhir.

BPPTK sejak Kamis (21/10) pukul 18.00 WIB menaikkan status aktivitas vulkanik Gunung Merapi dari "waspada" menjadi "siaga". Masa erupsi Merapi yang terakhir pada pertengahan 2006 antara lain ditandai dengan semburan awan panas, luncuran lava pijar, dan hujan abu secara intensif.

Kondisi Merapi saat ini semakin kritis antara lain ditandai dengan peningkatan secara signifikan aktivitas vulaknik gunung setinggi sekitar 2.965 meter dari permukaan air laut itu baik secara deformasi maupun seismik.

Perkembangan aktivitas Merapi yang tanpa disertai dengan gejala yang terlihat di permukaan itu, katanya, mirip dengan sejumlah tanda menjelang erupsi Merapi pada 1997.

Frekuensi gempa vulkanik Merapi saat ini hingga 50 kali per hari, sedangkan gempa "multiphase" 479 kali. Pusat energi gempa vulkanik Merapi saat ini di kedalaman antara satu hingga tiga kilometer dari puncak Merapi.

"Energi gempa itu semakin kuat sehingga getarannya dirasakan masyarakat sekitar," katanya.

Ia menyatakan adanya perubahan menuju pembentukan kubah lava baru sebagai akibat gerakan magma dari dalam gunung yang mendekati puncak Merapi. Gerakan magma diperkirakan mengelompok di bagian timur laut dan barat daya dari puncak Merapi.

Pihaknya belum bisa memastikan arah longsoran material vulkanik dari puncak Merapi.

Ia menyatakan perlunya respon secara serius berbagai pihak antara lain masyarakat dan pemerintah daerah yang memiliki wilayah Gunung Merapi atas perkembangan aktivitas vulkanik Merapi.

"Karena ada kemungkinan erupsi tidak lazim atau di luar letusan Merapi yang normal seperti beberapa tahun terakhir," katanya.

Goro mengatakan, doa dalam bahasa Jawa tentang Merapi yang telah dikenal masyarakat setempat sejak fase erupsi 2006 mungkin saja masih terbesit di dalam diri sebagian dari warga setempat.

"`Dhuh Allah Romo kawulo, matur nuwun paringipun siti lan bumi Gunung Merapi. Menawi panci titi wancinipun Gunung Merapi ngedalaken isinipun, ngindungaken jumleguripun, nyunaraken latunipun lan sedaya pakartining alam Merapi, sumangga dhuh Gusti, kersa Dalem kalampahana"

"Kaparingana tandha dhateng umat dalem. Mbok bilih kepareng nyawang endahipun, ngraosake luhur lan kuwasa Dalem. Dene yen kawulo kedah nisih, kawulo kaparingana margi," katanya ketika melafalkan untaian kalimat doa itu.

Terjemahan bahasa Indonesia atas rangkaian kalimat doa itu kira-kira sebagai berikut, "Terima kasih atas anugerah-Mu Tuhan atas bumi Merapi, apabila memang sudah waktunya Merapi mengeluarkan isinya, mendendangkan suaranya, menyinarkan cahaya api, dan hukum alamnya, kami berucap `Terjadilan kehendak-Mu`.

"Berilah kami tanda-tanda, bolehlah kami memandang keindahannya, merasakan agung dan luhur kuasa-Mu. Kalau memang kami harus menghindar, berilah kami jalan dan keselamatan". (M029/K004)

Oleh Oleh M. Hari Atmoko
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010