Jakarta (ANTARA) - Indonesia memiliki warisan leluhur yang tak ternilai harganya, yang kemudian menjadi semboyan negara, Bhinneka Tunggal Ika, yang memiliki makna berbeda-beda tetapi tetap satu jua, atau mengandung makna persatuan dan kesatuan.

Semboyan tersebut diambil dari kitab Sutasoma karangan Empu Tantular yang hidup pada era Kerajaan Majapahit pada abad ke-14 Masehi, dan diusulkan Mohammad Yamin sebagai prinsip persatuan dan kesatuan bangsa yang beragam budaya, suku bangsa, ras, etnis, agama maupun bahasa.

Namun dengan perkembangan teknologi informasi komunikasi yang sedemikian pesat, kebinekaan menghadapi tantangan yang tidak mudah. Paham-paham yang berpotensi merusak persatuan dan keutuhan bangsa dapat dengan mudah merasuk ke sendi-sendi kehidupan, tak terkecuali di sekolah.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim dalam beberapa kesempatan, menyebutkan terdapat tiga dosa besar di dunia pendidikan, yakni intoleransi, perundungan dan kekerasan seksual. Pendidikan idealnya bebas dari dosa besar tersebut, karena kreativitas, nalar kritis, kolaborasi maupun inovasi hanya bisa berkembang jika lingkungan belajarnya kondusif.

Itu sudah dibuktikan di SMAN 68 Jakarta yang berlokasi di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat. Peserta didik di sekolah itu berasal dari berbagai latar belakang agama, suku dan budaya. Data di sekolah itu menyebutkan dari 893 siswa, sebanyak 111 beragama Kristen, 14 beragama Katolik, tujuh siswa beragama Hindu, tujuh siswa beragama Budha, dan sisanya beragama Islam.

“Saya senang sekolah di sini, karena teman-temannya beragam dan juga banyak sisi positifnya. Saya di OSIS, merasakan banyak pendapat dan masukan yang beragam dari teman-teman. Ini penting banget, misalnya saat membuat program kerja festival budaya, itu banyak banget masukannya karena teman-teman berasal dari latar belakang berbeda,” ujar Ketua OSIS SMAN 68 Jakarta Razi Delviar Farrukhi.

Pihaknya juga mengakomodir teman-temannya yang memiliki potensi untuk menjadi pengurus, tanpa melihat latar belakang siswa itu. Selain memberikan perspektif yang berbeda, keragaman yang ada di sekolah itu juga mendorong lahirnya beragam inovasi program kerja OSIS. Contohnya pada peringatan HUT Ke-76 Republik Indonesia, Razi dan teman-temannya menyelenggarakan kongres yang mengangkat kemampuan berpikir siswa-siswa di sekolah itu.

“Kongres yang akan diselenggarakan ini akan diikuti perwakilan siswa dari setiap kelas. Diselenggarakan dengan Model United Nations, yang membicarakan HUT RI ini,”  Razi.

Ketua Majelis Perwakilan Kelas (MPK) Gian Alvina Susatyo mengatakan dirinya senang bersekolah di lembaga yang siswanya beragam karena memberikan warna tersendiri pada dirinya.

“Juga menambah ilmu dan wawasan aku, terkadang ketemu dengan teman yang tidak sefrekuensi. Jadi bisa cerita hal-hal yang berbeda dari sudut pandang berbeda,” kata siswa yang biasa disapa Gian itu.

Gian menambahkan sejak awal masuk di SMAN 68 Jakarta, dirinya tidak pernah merasakan diperlakukan berbeda dan juga tidak pernah mengalami perundungan. Sekolah memberikan sanksi tegas perilaku-perilaku yang termasuk dalam dosa besar dunia pendidikan itu.

Alhamdulillah, aku bertemu dengan orang-orang yang menganggap bahwa perbedaan itu bukan masalah, tapi berkah karena bisa memberikan warna yang berbeda. Dalam organisasi pun, perbedaan yang ada membuat kita lebih kreatif dan inovatif,” jelas Gian.


Tekankan kesetaraan

Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMAN 68 Jakarta Tholib, SPd, MM, mengatakan sejak awal sekolah negeri tersebut sudah menekankan pada kesetaraan dengan mengedepankan aspek kebersamaan dan persatuan.

Maka tak heran, program-program di sekolah itu mengayomi keberagaman yang dilihat dari berbagai aspek, mulai dari kognitif, pribadi, religi, keragaman suku, maupun ras.

“Kegiatan yang dibangun harus berorientasi pada kebersamaan tanpa memandang perbedaan yang ada. Semua siswa memiliki hak yang sama untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Tidak ada eksklusivitas pada kegiatan kurikulum. Semua ditekankan pada aspek kebersamaan,” kata Tholib.

Siapapun dapat masuk ke sekolah itu tanpa melihat latar belakang, faktor ekonomi, agama, budaya maupun etnis. Maka tak heran, sebagian besar siswa di sekolah itu berasal dari latar belakang, etnis maupun agama yang berbeda.

“Kami ingin melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas. Untuk itu dikedepankan persamaan, bukan perbedaannya. Siapapun dia, berasal dari manapun, memiliki kesempatan yang sama. Itu sangat penting,” ujar dia.

Pada saat penerimaan peserta didik baru (PPDB), semuanya memiliki kesempatan yang sama dengan catatan memenuhi persyaratan untuk diterima. Apalagi dengan kebijakan zonasi yang membuat siswa sekolah itu semakin beragam.

Di sinilah peran sekolah dalam membangun komunitas sekolah yang beragam dan menampung sumber daya yang ada. Iklim sekolahpun dibangun sekondusif mungkin dan ramah anak dan jauh dari tiga dosa besar pendidikan.

“Dalam membangun komunitas yang beragam, perlu tata tertib yang mengakomodir semua peserta didik yang memiliki latar belakang yang berbeda. Semua dilibatkan dengan kegiatan yang ada, aspek kurikulum dibangun sedemikian rupa, sehingga jauh dari kata eksklusivitas,” ucap Tolib.

Ketua OSIS di sekolah itu pun berasal dari latar belakang yang berbeda pula. Misalnya, kata Tolib, saat dia menjabat sebagai Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, ketua OSIS-nya beragama Kristen.

“Dalam pemilihan ketua OSIS, anak-anak tidak melihat agama atau latar belakang calon, akan tetapi kapabilitas calon ketua OSIS itu. Bahkan, pemilihan dilakukan seperti halnya pemilihan umum. Ada kotak suara di lapangan. Melalui pemilihan, anak-anak belajar juga demokrasi implementasi dari Ilmu Pendidikan Kewarganegaraan,” ujar guru PKn itu.

Pada masa belajar dari rumah (BDR) seperti saat ini, program sekolah yang biasa dilakukan secara luring dipindahkan ke daring. Misalnya setiap pagi ada upacara bendera, membaca doa bersama dan kegiatan literasi. Setiap Jumat pagi, siswa mendapatkan pelajaran agama secara daring. Sekolah itu membaginya menjadi tiga breakout room yang terdiri dari pendidikan agama Islam, Kristen dan Katolik.

Tolib tak menampik bahwa lingkungan siswa tidak hanya di sekolah saja, melainkan juga di luar sekolah. Namun dengan pondasi yang kuat dari sekolah, ia yakin siswa dapat membentengi diri dari pengaruh di luar, termasuk media sosial.

Dengan iklim sekolah yang mendukung kebinekaan dan inklusivitas tersebut, tak heran sekolah itu menjadi sekolah unggulan di kawsan Jakarta Pusat. Sejumlah prestasi diraih peserta didik sekolah itu dalam lima tahun terakhir, di antaranya juara lomba OSN seni hingga olahraga. Di antaranya Jason Kusuma dan Jonathan Martin yang meraih juara dua lomba film pendek FLS2N 2019, Nila Eleora yang meraih lomba desain poster FLS2N, Sherin Salsabila yang meraih juara kedua Kejuaraan Nasional Karate Piala Panglima TNI 2019, Muhammad Adzka Isma Paramadhana yang meraih juara satu Kompetisi Sejarah Nasional 2019, Luh Natya Resika yang meraih Juara 1 Kawah Kepemimpinan Pelajar, dan Mutiara Cantikan, Debora Karyoko, dan Tri Oetami yang meraih peringkat tiga Lomba Cerdas Cermat PPKN.

 

Lingkungan belajar

Direktur Eksekutif Wahid Foundation Mujtaba Hamdi, dalam webinar Silaturahmi Merdeka Belajar (SMB) bertajuk “Merawat Kebinekaan di Sekolah Lewat Survei Lingkungan Belajar”, beberapa waktu lalu. (ANTARA/Indriani) (ANTARA/Indriani)
Direktur Eksekutif Wahid Foundation Mujtaba Hamdi mengatakan sekolah negeri menjadi sasaran penting penyebaran intoleransi dan radikalisme. Hasil riset yang dilakukan Wahid Foundation pada 2017/2018 terhadap siswa yang mengikuti organisasi Rohis untuk melihat seberapa besar pengaruh narasi yang di luar melalui gawai dan media lainnya terhadap sikap dan pendirian siswa. Hasil riset tersebut sekitar 70 persen siswa yang setuju bahwa mengucapkan selamat hari raya pada siswa yang beragama lain merupakan hal yang tidak boleh dilakukan.

“Mungkin ini hal terlihat kecil, akan tetapi pada riset kami ini menunjukkan seperti puncak gunung es. Ada pemikiran yang berhasil masuk di kebatinan siswa, bahwa hubungan dengan mereka yang berbeda identitas tidak bisa se-interaktif dan ada batasan tertentu yang ketat,“ katanya.

Bahkan, pada satu titik, sebanyak 60 persen hingga 70 persen siswa tidak setuju dengan pemimpin yang berbeda keyakinan dengan dirinya. Meskipun hasil survei itu belum termanifestasi dalam perilaku, tetapi sudah dapat mendeteksi cara berpikir dan pendirian.

“Tapi kita bisa membayangkan itu tidak muncul dari ruang kosong, tapi dipengaruhi berbagai situasi yang ada di sekelilingnya. Betapa pentingnya lingkungan belajar dalam membentuk ruang batin setiap siswa. Cara berpikir dan bersikapnya, yang pada ujungnya menentukan bagaimana masyarakat berinteraksi satu sama lain,” kata Mujtaba.

Memang hal itu terlihat, tetapi tiba-tiba muncul berita tentang penolakan terhadap ketua OSIS yang sudah terpilih, tetapi berbeda agamanya dari mayoritas siswa yang ada di sekolah itu.

“Kita kaget dan tidak menyadari bahwa itu dibentuk sudah cukup lama dari berbagai medium. Lingkungan belajar tidak hanya berada di lingkungan sekolah, tetapi juga lingkungan digital," katanya.

Toleransi bukan hanya menghargai, tetapi ada hal yang lebih mendalam, adalah memperluas makna toleransi. Contohnya dengan cara kolaborasi siswa yang berbeda agama dan latar belakang dalam satu aktivitas bersama, seperti hari besar keagamaan di sekolah. Siswa secara bersama-sama membantu dalam mempersiapkan kegiatan tanpa perlu mengikuti kegiatan ibadahnya.

Hasil temuan dari Wahid Foundation juga memberikan rasa optimistis yang menunjukkan bahwa 80 persen lebih siswa meyakini bahwa Pancasila menjadi landasan yang berhasil mempersatukan. Indonesia memiliki modal yang kuat untuk membangun persatuan di tengah-tengah kebinekaan yang luar biasa.

“Salah satu fakta, Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia yang demokrasinya berjalan dengan baik, berbeda dengan negara lain yang memiliki penduduk mayoritas Muslim, misalnya di Asia Selatan. Ini membuat kita menyadari, bahwa kita memiliki kewajiban menjaga apa yang ditinggalkan pendiri bangsa dan pendidikan menjadi jantung regenerasi anak bangsa ,” kata Mujtaba.


Survei Lingkungan Belajar

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan (Kabalitbangbuk), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Anindito Aditomo,dalam webinar Silaturahmi Merdeka Belajar (SMB) bertajuk “Merawat Kebinekaan di Sekolah Lewat Survei Lingkungan Belajar”, beberapa waktu lalu. (ANTARA/Indriani)
Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Perbukuan (Kabalitbangbuk) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Anindito Aditomo mengatakan kebinekaan harus dirawat sejak dini, yakni sejak anak berada di bangku sekolah. Iklim sekolah menentukan potret kebinekaan masyarakat pada masa depan.

Sekolah yang memiliki iklim kebinekaan yang baik adalah saat murid merasa bebas dan nyaman untuk menyampaikan pendapatnya, tentang apapun yang sedang dibahas di sekolah tanpa merasa takut. Setiap siswa berhak mendapatkan hak yang sama untuk belajar di lingkungan yang aman tanpa diskriminasi.

“Kita harus merawat kebinekaan sejak dini, yaitu sejak anak-anak duduk di bangku sekolah. Untuk mendorong hal tersebut kita akan lakukan Survei Lingkungan Belajar yang merupakan bagian dari Asesmen Nasional (AN),” kata pria yang akrab disapa Nino itu, dalam webinar Silaturahmi Merdeka Belajar (SMB) bertajuk “Merawat Kebinekaan di Sekolah Lewat Survei Lingkungan Belajar”.

Kemendikbudristek percaya jika insan pendidikan di sekolah adalah orang-orang yang toleran dan mencerminkan karakter bangsa Indonesia. Namun kasus intoleransi di sekolah yang terjadi perlu mendapatkan perhatian dan intervensi agar tidak terus berlanjut. AN terdiri dari tiga komponen, yakni Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter dan Survei Lingkungan Belajar. Untuk Survei Lingkungan Belajar memotret berbagai aspek pembelajaran, seperti kepemimpinan kepala sekolah, praktik guru, iklim keamanan, dan kebinekaan hingga informasi yang diterima guru, kepala sekolah, dan kepala dinas pendidikan.

Selain mengukur iklim kebinekaan, Survei Lingkungan Belajar juga mengukur iklim keamanan sekolah. Rasa aman di sekolah juga merupakan prasyarat bagi terjadinya proses pembelajaran. Iklim keamanan sekolah mencakup indikator-indikator, seperti kejadian perundungan, penggunaan narkoba dan kekerasan di sekolah. Di luar iklim sekolah, bagian terbesar dari Survei Lingkungan Belajar sebenarnya adalah berbagai aspek yang secara langsung terkait kualitas pembelajaran. Hal itu mencakup indikator-indikator fasilitas belajar, praktik pengajaran, refleksi guru dan kepemimpinan instruksional kepala sekolah.

Dengan melakukan Survei Lingkungan Belajar, maka pemerintah dengan mudah mengetahui kondisi di sekolah itu, dan diharapkan dapat dilakukan intervensi agar bisa mewujudkan Indonesia yang berkebinekaan dan profil Pelajar Pancasila yang selama ini dicita-citakan.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021