Magelang (ANTARA News) - Sejumlah warga desa terakhir dari puncak Gunung Merapi di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, nekat kembali ke kampungnya selama beberapa saat untuk mengurus ternak dan memetik sayuran di tengah suara gemuruh letusan besar gunung berapi itu.

"Hanya sebentar di rumah, memetik sayuran lalu kembali ke penampungan," kata seorang warga Dusun Tangkil, Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jateng, sekitar enam kilometer barat puncak Merapi, Sugino (26), di Magelang, Kamis.

Ia mengaku, pulang ke dusunnya bersama seorang warga setempat lainnya, Waridi (35), dengan mengendarai sepeda motor.

Sejak Rabu (3/11) sore dirinya bersama keluarga menempati salah satu lokasi penampungan swadaya pengungsi Merapi di Kota Kecamatan Muntilan, sekitar 30 kilometer barat puncak Merapi.

Ia mengaku, hanya sempat memetik sayuran yakni pepaya dan nangka muda, masing-masing tiga buah, serta cabai sekitar 0,5 kilogram di dekat rumahnya untuk keperluan makan di penampungan.

"Tetapi sebenarnya yang utama, saya mengantar Waridi untuk memberi makan dua ekor sapinya," katanya.

Ia mengaku menuju kampungnya melewati jalan Desa Dukun, Sumber, Kalibening, dan Ngargomulyo, sedangkan saat perjalanan ke penampungan melewati jalan alternatif dari Tangkil menuju Kalibening di areal pertanian warga setempat.

Sepanjang jalan, katanya, dirinya diterpa hujan air bercampur abu dan pasir cukup deras dan pohon-pohon dalam kondisi condong di atas badan jalan.

Ia mengatakan, dahan pohon yang patah di berbagai tempat menutup badan jalan.

"Saya sempat ambil parang di Dusun Braman, di rumah saudara, untuk memotong dahan yang menutup jalan," katanya.

Ia mengaku, saat di kampungnya terdengar gemuruh cukup kuat terus menerus yang diduga luncuran lava dari puncak Merapi. Merapi tertutup oleh awan tebal.

Saat hendak kembali ke penampungan, katanya, selama beberapa saat dirinya berhenti di ujung jembatan Kali Lamat di Desa Kalibening untuk mewaspadai kemungkinan terjadi arus deras air sungai itu secara tiba-tiba.

Banjir lahar dingin yang oleh warga Merapi di kawasan itu disebut sebagai "Banjir Ladhu", katanya, terjadi di Kali Lamat Desa Kalibening.

"Ketinggian arus air tinggal dua meter dari gelagar jembatan itu, biasanya sekitar lima meter. Airnya membawa berbagai kayu-kayu besar-besar," katanya.

Ia mengatakan, hingga saat ini di Tangkil dan Gemer, Desa Ngargomulyo masih ada seorang warga yang sakit jiwa, sedangkan di Balai Desa Ngargomulyo dua orang berjaga.

Waridi mengaku, memberi makan sapi dengan ketela yang dicabut dari pohon di samping kandang ternaknya itu.

"Tidak memungkinkan mencari rumput untuk sapi karena telah tertutup abu tebal sehingga saya beri makan ketela, masih cukup untuk seminggu kedepan ketelanya," katanya.

Ia mengaku, sesegera mungkin memberi pakan sapinya itu untuk kemudian kembali ke penampungan di Muntilan.

Ia mengaku, sebenarnya takut selama berada di kampungnya itu karena mendengar suara gemuruh yang kuat secara terus menerus dari puncak Merapi.

Dua warga pengungsi Merapi itu tiba di penampungan di Muntilan sekitar pukul 17.30 WIB.

Berdasarkan pantauan, arus air di Kali Pabelan, perbatasan antara Kecamatan Dukun dengan Sawangan terlihat normal, sedangkan airnya berwarna kecokelatan, sedangkan arus air di Kali Senowo, dekat Pasar Talun, Kecamatan Dukun terlihat lebih deras ketimbang hari biasa. Tetapi tidak terjadi "Banjir Ladhu" di Kali Senowo.

Hujan air bercampur abu vulkanik turun di kawasan barat Merapi sejak sekitar pukul 16.00 WIB hingga saat ini sekitar pukul 18.20 WIB, sedangkan suara gemuruh luncuran lava dari puncak gunung itu terdengar terus menerus di Muntilan.

Beberapa kali juga terdengar petir dan kilat atau oleh masyarakat setempat disebut sebagai "thathit".

Berbagai ruas jalan, genting rumah, dan pepohonan di Muntilan, Sawangan, Dukun, tertutup abu vulkanik Merapi cukup tebal.
(U.M029/M028/P003)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010