perlu melakukan perubahan transformatif
Jakarta (ANTARA) - Masyarakat wajib berkontribusi mengatasi krisis iklim untuk dapat bertahan dari kepunahan, kata Direktur Climate Policy Initiative (CPI) Indonesia Tiza Mafira.

"Masyarakat wajib kontribusi atasi krisis iklim. Kalau kita enggak berkontribusi, kita enggak akan 'survive', kita akan punah. Bagi ku ini bukan soal peduli atau enggak penduli lingkungan, ini soal 'survival'," kata Tiza dalam Diskusi Panel: Mulai Aksi untuk Bumi dari Gaya Hidup Sehari-hari secara virtual diikuti di Jakarta, Selasa.

Menurut inisiator Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik itu, logis jika menganggap melakukan upaya mengatasi krisis iklim sebagai bentuk bertahan hidup mengingat krisis iklim tidak dapat dibantah keberadaannya.

Ia menilai krisis iklim semakin parah dan semakin dekat dengan kehidupan sehari-hari.

"Kalau masih ada yang tanya, 'krisis iklim itu ada ya?'. Ya sama saja kayak tanya, 'gravitasi itu ada ya?'. Sekonyol itu menurut ku," ujar Tiza.

Baca juga: Perubahan iklim meluas, semakin cepat dan intens
Baca juga: Laporan iklim PBB gambarkan laju cepat pemanasan dunia


Menurut dia, setiap individu dalam masyarakat dapat melakukan kegiatan yang disukai sambil menyuarakan masalah krisis iklim. "Kalau aku sendiri 'background'-nya hukum, suka ngulik peraturan. Ok, kalau gitu coba bantu rumuskan kebijakan kantong plastik".

Selanjutnya, menurut dia, apa yang tidak dapat dilakukan sendiri maka harus dilakukan bersama-sama untuk bisa mengubah sistem. Contoh, jika susah berjalan kaki karena tidak tersedia trotoar maka sistem yang harus berubah sehingga orang semakin banyak yang bisa berjalan kaki.

"Atau mau pasang panel surya tapi mahal baterainya, padahal inginnya listrik di rumah enggak mati meski PLN mati, tapi kenapa baterai mahal banget. Itu berarti sistem perlu diubah," ujar Tiza.

Dengan semua kondisi di atas maka hal yang, menurut dia, dapat dilakukan membantu mendorong keluarnya kebijakan yang mengubah sistem tersebut. "Misal buat petisi meminta trotoar, atau bikin koalisi pejalan kaki supaya individu yang 'awareness' bagus banyak yang ikut," ujar dia.

Baca juga: Pemerintah ungkap ancaman keanekaragaman hayati bagi ekonomi
Baca juga: Airlangga: Perubahan iklim dan ketimpangan masih jadi tantangan 2045


Senior Manager for Sustainable Landscape and Cities WRI Indonesia Adi Pradana mengatakan 97 persen ilmuwan terkemuka di dunia setuju bahwa emisi gas rumah kaca (GRK) hasil aktivitas manusia penyebab pemanasan global. Konsentrasi karbon dioksida (CO2) global dan anomali suhu terjadi dari pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), dan kegiatan masyarakat yang meski tidak secara langsung membakar hutan tetapi tidak sengaja membiayai perusahaan yang membakar hutan.

Selanjutnya, penambahan populasi yang akan menambah kebutuhan pangan, air dan sebagainya, ia mengatakan mengakibatkan lebih banyak lagi emisi yang dihasilkan manusia. Setiap ada kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius hingga dua derajat Celsius maka akan terjadi panas berlebih, hujan ekstrem, kekeringan parah dan waktu datangnya lebih cepat.

Menurut dia, gaya hidup dan konsumsi sehari-hari manusia menjadi penyebab semua itu terjadi. Konsumsi listrik dan produk pemanas ada di urutan tertinggi penyumbang emisi yakni 25 persen, lalu penggunaan hutan dan lahan menyumbang 20,4 persen, industri menyumbang 17,9 persen, transportasi menyumbang 14 persen, energi lain menyumbang 9,6 persen, sampah makanan (metana) menyumbang 6,7 persen, serta bangunan tidak ramah lingkungan menyumbang 6,4 persen.

"Jadi perlu melakukan perubahan transformatif. Perlu semangati pemerintah untuk membuat kebijakan yang pro lingkungan dan pro iklim," ujar dia.

Ia mengatakan kepunahan bisa terjadi, karena sudah ada laporan terjadi pada spesies amfibi dan hewan melata. Dan kondisi itu bisa semakin meningkat karena krisis iklim, degradasi lingkungan, konversi hutan untuk kebutuhan perumahan dan sebagainya.

Baca juga: BMKG minta pemda serius atasi perubahan iklim
Baca juga: APHI harapkan pajak karbon untuk pengendalian perubahan iklim
Baca juga: Adaptasi iklim berpotensi selamatkan PDB hingga Rp577,01 triliun


 

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021