Yogyakarta (ANTARA News) - Matahari belum terlalu terik ketika enam orang dengan lengan dan jemari yang menampakkan guratan otot itu memilah-milah batu berwarna hitam legam yang merupakan ciri utama batuan Gunung Merapi.

Di sisi timur yang berjarak seratusan meter dari Stadion Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, sepasang tangan berbalut kulit hitam legam terlihat memecahkan batu hitam seukuran kepala sapi dengan sebuah kapak besar hingga terbelah menjadi beberapa bagian.

Seulas senyum jelas terlukis dari wajah seorang pria berusia hampir setengah abad itu saat berhasil mendapatkan satu bentuk dasar batu, dan wajah yang terbias warna biru dari tenda peneduh itu jelas menampakkan rasa puas.

Setelah sedikit bergeser duduk dari tempatnya memecah batu tadi, pria itu mulai mengeluarkan peralatan tukang seperti palu, tatah (pahat) dan kapak kecil. Dengan peralatan yang sederhana itu mulailah pria itu menatah berbagai sisi batu dengan sangat hati-hati.

Sesekali ia terlihat berhenti mengarahkan mata tatah dari permukaan batu, dan setelah sepasang matanya memandangi berbagai sudut batu kembali tangan kanannya yang memegang palu memukul ke arah ujung tatah, begitu terus sampai berulang-ulang hingga semakin nampak bentuk batu yang diinginkan pria itu.

Ya, mata awanpun akhirnya bisa melihat jika pria itu sedang membuat sebuah cobek meskipun bentuknya belum halus.

Pria yang mengaku bernama Sugiyanto (45) warga Dusun Sambisari, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman ini kemudian mengisahkan alasan dia untuk mimindahkan usaha produksinya di lokasi dekat pengungsian.

"Ini tinggal dihaluskan, yakni dengan digosok pakai batu dan air, setelah itu siap dijual," kata pria yang tidak segan untuk tersenyum kepada orang yang menyapanya itu.

"Saya dan teman-teman ini pengungsi erupsi Gunung Merapi," kata Sugiyanto ketika ditanya sejak kapan menggeluti usaha kerajinan itu.

Ia bersama kawan-kawannya mengerjakan ini di sini baru tiga hari. "Sebelumnya setiap hari kami mengerjakan ini di rumah karena ini merupakan sumber ekonomi keluarga. Karena dusun kami masuk wilayah rawan letusan Merapi maka kami harus mengungsi," katanya.

Jika berhenti membuat cobek dan `munthu` (uleg) ini maka Sugiyanto tidak akan punya uang, apalagi sudah sepekan berada di pengungsian dan dirinya mulai merasa jenuh tanpa kegiatan apapun.

Ia mengatakan, sejak erupsi besar Gunung Merapi pada Jumat (5/11), dirinya bersama keluarganya dan warga dusunnya mengungsi ke Stadion Maguwoharjo, Depok, Sleman.

"Saat ini kami sudah tidak punya uang sama sekali, sumber pendapatan kami cuma dari membuat alat-alat dapur ini. Kebetulan kemarin ada seseorang dari UGM yang selama ini aktif mendampingi perajin batu ini bersedia memfasilitasi kami dan mengambilkan bahan baku dan peralatan kami untuk dibawa ke sini," katanya.

Menurutnya atas tawaran itu, dia dan rekan-rekannya sangat senang karena selain sudah tidak punya uang, kejenuhan juga mulai menyerang.

"Memang di pengungsian ini untuk soal makan tidak menjadi masalah, begitu juga dengan faslitas lainnya. Namun bukan berarti kami kemudian berpangku tangan saja dan tiap hari hanya bisa menunggu jatah nasi bungkus," katanya.

Ia mengatakan, jika kondisi ini terus berlarut maka tidak menutup kemungkinan justru akan menumbuhkan rasa malas dan nantinya bisa berdampak enggan atau ogah-ogahan untuk memulai usaha lagi.

"Jika ini terus berlarut maka kami yang rugi sendiri, karena ini hanya di pengungsian dan sifatnya hanya sementara. Nanti kalau sudah kembali ke rumah apakah ada yang setiap hari memberi nasi bungskus, kami tidak ingin terlena dan harus tetap semangat untuk bekerja," katanya.

Riyanto (48) tetangga satu dusun Sugiyanto mengaku saat ini warga Dusun Sambisari kembali menyala semangat.

"Kami sangat senang selain kami bisa tetap berproduksi, kami juga bisa menghilangkan rasa jenuh di pengungsian. Ini yang membuat semangat kami kembali berkobar," katanya.

Ia mengatakan, selama tiga hari ini dirinya bersama dengan enam temannya berhasil membuat sekitar 20 buah peralatan dapur.

"Kami juga tidak terlalu kesulitan untuk menjual hasil produksi kami, karena kami juga berhasil menghubungi langganan kami yang bersedia memasarkannya. Sampai saat ini sudah beberapa buah yang terjual," katanya.

Riyanto mengatakan, dia bersama lima temannya asal Dusun Sambisari, Umbulharjo rata-rata setiap hari rata-rata mampu memproduksi tujuh alat-alat dapur seperti cobek, ulek dan lumpang.

"Sedangkan untuk harga masing-masing tergantung besar kecilnya barang yakni antara Rp7.000 hingga Rp50 ribu, dalam tiga hari ini kami telah mendapat hasil penjualan Rp300 ribu, ini merupakan berkah yang patut disyukuri daripada meratapi bencana, musibah bukan berarti harus menyerah," katanya.
(V001/Z003)

Oleh ictorianus Sat Pranyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010