Jakarta (ANTARA News) - Lembaga swadaya masyarakat (LSM) BUMN Watch mengingatkan para penegak hukum untuk mewaspadai kegiatan penjualan saham perdana (IPO) di perusahaan milik negara, termasuk PT Krakatau Steel, karena diduga bisa menjadi modus baru korupsi.

"Boleh jadi kegiatan IPO BUMN menjadi objek korupsi gaya baru yang sulit dilacak siapa yang bermain. Namun, kita yakin memang ada pemainnya dan ini harus dilacak," kata Ketua BUMN Watch, Naldy Nazar Haroen kepada wartawan di Jakarta, Minggu.

Atas dasar keyakinan itu, Naldy mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), DPR dan bahkan presiden ikut melacak siapa yang bermain dalam kegiatan IPO BUMN, apalagi terkait dengan BUMN strategis seperti PT Krakatau Steel.

Menurut dia, fakta yang ada sudah membuktikan bahwa harga saham Krakatau Steel (KS) memang dilepas sangat murah. Di hari pertama pencatatan (listing) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 10 November 2010, saham KS langsung melonjak dari Rp850 menjadi Rp1.270 per lembar atau naik 49,41 persen.

Itu artinya, tidak kurang dari Rp1 triliun "sumbangan" Krakatau Steel untuk para pemain saham dalam satu hari, katanya. Padahal, menurut prediksi para analis pasar modal, saham Krakatau Steel masih bisa meningkat hingga ke level Rp2.500 per lembar saham, dalam jangka panjang.

Naldy mengatakan, kenyataan tersebut membenarkan pendapat BUMN Watch bahwa proses penentuan harga saham PT KS sangat tidak masuk akal, karena selama "roadshow" saja, jumlah penawar dengan harga Rp1.150 hingga Rp1.200 mungkin jauh lebih banyak dibanding penawar dengan harga Rp850 per lembar saham.

Ketua BUMN Watch ini juga heran, Menteri BUMN Mustafa Abubakar malah terlihat bangga dengan tingkat kenaikan harga saham PT KS tersebut, bukannya menyesal dan berpikir cermat, karena sebenarnya penerimaan negara bisa jauh lebih besar lagi dari kegiatan IPO KS tersebut.

Menurut Naldy, kenaikan harga saham KS justru membuktikan bahwa optimisme kebijakan penetapan harga saham PT KS yang begitu rendah, tidak bisa mendorong perkembangan pasar sekunder.

"Kita lihat keberadaan KS tidak membuat Indeks Harga Saham Gabungan menjadi membaik. Yang terjadi, spekulan bebas memainkan perannya di pasar saham," katanya.

Oleh karena itu, lanjut Naldy, tidak salah jika BUMN Watch mencurigai dalam proses privatisasi PT KS telah terjadi konspirasi yang berpotensi merugikan negara karena dana yang seyogianya bisa masuk ke kas negara, justru masuk ke kantong-kantong para spekulan atau oknum-oknum tertentu.

"Inilah yang harus diwaspadai, mengingat kasus ini menyangkut Badan Usaha Milik Negara, yang berpotensi merugikan keuangan negara tidak kurang dari Rp2,5 triliun," tutup Naldy
(T.F004/B012/P003)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010