Jadi event kali ini memang begulir di tengah pandemi, tetapi bersyukur atlet, pelatih, wasit, dan ofisial yang lainnya untuk ajang besar ini semua diperhatikan dan all out untuk kita semua
Jakarta (ANTARA) - Dalam sebuah ajang besar seperti Paralimpiade Tokyo 2020 selain atlet, komponen yang tak kalah penting adalah wasit, karena tanpanya tak akan ada pemenang.

Khusus untuk Paralimpiade Tokyo 2020, Indonesia memiliki lima wasit yang akan bertugas, salah satunya adalah Rahadewineta yang akan memimpin pertandingan para-taekwondo.

Neta sapaan akrab Rahadewineta menjadi satu-satunya wasit perempuan Indonesia yang bertugas di pesta olahraga terbesar di dunia untuk atlet disabilitas tersebut.

Baca juga: Rahadewineta wakil wasit Indonesia di Olimpiade Rio

Selain Neta, Indonesia juga memiliki empat wasit lainnya yakni Abdul Latif Jaohari, Robbertus Tommy Oscariano, dan Raventus dari cabang para-badminton, serta Edy Suwarto dari cabang anggar/anggar kursi roda.

Bagi Neta, ini bukan kali pertama mempimpin ajang besar. Dia telah malang melintang di dunia perwasitan internasional, termasuk menjadi wasit satu-satunya dari Indonesia yang bertugas di Olimpiade Rio de Janeiro, Brazil, pada 2016.

Banyak cerita dibalik kiprah Neta sebagai wasit Internasional. Ibu dua anak ini pun membagikan kisah dan pengalamannya kepada Antara, Senin.

Terpilihnya Neta menjadi wasit di Paralimpiade Tokyo tak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak hal yang harus dilalui.

Bahkan, sebelumnya dia lebih dulu gagal dalam kualifikasi Olimpiade Tokyo. Ketika itu, dia kurang maksimal saat menjalani management test.

Jadi, setiap gelaran multievent sekelas Olimpiade dan Paralimpiade, kata Neta, ada lima tahapan yang harus dilalui wasit mulai dari tes fisik, tes tulis, scoring test, management test, hingga tahap wawancara.

"Saya ketika itu gagal di management test-nya. Hasilnya kurang maksimal. Selebihnya saya melewati dengan baik," katanya.

Neta menjelaskan lima item tersebut harus dilewati dengan baik. Jika salah satu tidak terpenuhi, maka mimpi memimpin pertandingan pada ajang besar tersebut langsung pupus.

Pengalaman memimpin pertandingan di Olimpiade Rio de Janeiro 2016 pun tidak menjadi jaminan. Meski begitu, kegagalan di Olimpiade Tokyo tak membuat istri dari Rizal Samsir itu patah arang.

Berbekal lisensi wasit internasional untuk para-taekwondo dan ranking poin mencukupi, dia kemudian ikut kualifikasi Paralimpiade Tokyo.

Baca juga: Penyelenggara Paralimpiade Tokyo perketat protokol COVID-19


Proses seleksi dan kualifikasi

Untuk Paralimpiade Tokyo 2020, Neta mengatakan proses seleksi menjadi wasit cabang olahraga para-taekwondo hampir sama dengan di Olimpiade Tokyo atau Rio de Janeiro.

"Setiap Olimpiade dan Paralimpiade ada seleksi masing-masing untuk wasit," ujarnya.

Perempuan kelahiran 23 Mei 1984 itu menjelaskan bahwa seluruh member World Taekwondo International Referee yang memiliki kredit poin mencukupi dipanggil untuk mengikuti seleksi.

Tercatat ada 200 wasit berlisensi para-taekwondo yang mendapat undangan, termasuk Neta.

"Tiga wasit asal Indonesia ikut seleksi. Namun dua di antaranya tak lolos. Semua proses kualifikasi yang menentukan World Taekwondo," ujarnya.

"Seleksi pertama itu di Moskow pada Mei 2019. Kami menjalani traning camp selama satu pekan di sana," kata perempuan kelahiran Surabaya itu.

Setelah adanya undangan mengikuti seleksi, para wasit kemudian mengikuti sejumlah tes untuk bisa lolos kualifikasi.

Seperti yang dijelaskan di atas sejumlah tes dilakukan meliputi tes fisik, tes tulis, scoring test, management test, dan wawancara.

"Setelah lima item ini sudah terpenuhi. Kemudian ada uji coba untuk memimpin pertandingan pada sebuah event seperti pada babak kualifikasi Paralimpiade yang diikuti para atlet," kata Neta.

"Setelah memimpin pertandingan tersebut, Federasi Dunia kemudian melakukan evaluasi," Neta menuturkan.

Kemudian jumlah yang lolos ke tahap selanjutnya mengerucut menjadi 50 wasit dan perjuangan Neta berlanjut dengan ikut kualifikasi zona Afrika di Maroko pada Februari 2020.

Namun karena pandemi COVID-19 proses kualifikasi menjadi lebih lama. Terlebih banyak event yang tertunda termasuk mundurnya jadwal Paralimpiade Tokyo.

Penantian Neta pun tak sia-sia. Dengan kepastian bergulirnya Paralimpiade Tokyo membuat kualifikasi berlanjut.

Hingga akhirnya, dia pun terpilih menjadi satu dari 30 wasit yang bakal memimpin setiap laga di Paralimpiade Tokyo.

Baca juga: Atlet Indonesia mulai jalani latihan tiap hari jelang Paralimpiade


Punya jam terbang

Untuk bisa memimpin pertandingan di ajang besar seperti Olimpiade dan Paralimpiade tak mudah. Butuh jam terbang tinggi untuk bisa ikut seleksi lalu menjalani proses kualifikasi. Kiprah Neta sebagai wasit pun tak perlu diragukan lagi.

Sejak debut 2007, tak kurang dari 50 kejuaraan internasional pernah dia pimpin. Bahkan sejumlah penghargaan sebagai wasit pun telah dia peroleh.

Misalnya, Best Referee of China Open Taekwondo Championships 2018 dan Best Referee of World PARA Taekwondo Championships di Turki 2015.

Dengan segudang pengalaman tersebut, wajar bila Neta bisa memimpin di pesta olahraga terbesar untuk atlet disabilitas di dunia itu.

Dalam kesempatan ini, Neta mengajak semua wasit Indonesia untuk memperbanyak pengalaman di event internasional.

"Perbanyak jam terbang memimpin ajang internasional yang memiliki grade poin resmi. Setelah sering memimpin laga, secara otomatis nama wasit akan naik dan bisa terpilih untuk mengikuti seleksi," ujarnya.

Beruntung, Neta adalah salah satu wasit yang bernaung di Universal Taekwondo Indonesia Profesional (UTI-Pro). Dengan begitu, Neta bisa mendapatkan dukungan penuh baik dari fasilitas, akomodasi, dan lainnya.

Namun kata Neta, bagi yang belum ada naungan, jangan jadi alasan untuk tidak tumbuh dan mencari pengalaman.

"Ketika tidak ada yang menaungi atau pemerintah tak memberikan solusi, paling tidak mengeluarkan kocek pribadi. Kalau tidak, bisa mencari sponsor," ujar Neta.

Dalam kesempatan ini, dia juga mengatakan prospek menjadi wasit cukup menjanjikan.

"Jadi sebenarnya wasit itu kalau dibilang untuk jadi ajang mencari penghasilan itu bukan di multievent. Tetapi di event-event Open Turnament," ujar Neta.

Baca juga: Rumah sakit di Tokyo kewalahan jelang Paralimpiade Tokyo

"Misalnya, saya terbang dengan tiket sendiri dengan biaya 300-400 dolar. Itu akan dapat sekitar 1.000 sampai 2.000 dolar per day pertandingan," kata Neta menambahkan.

Dengan begitu profesi sebagai wasit, kata Neta, bisa dijadikan pekerjaan utama, sampingan, atau job utama terus dijadikan hobi juga bisa.

"Biasanya seseorang takut menekuni profesi wasit karena bingung dengan dana. Sebenarnya bisa balik modal, ketika kita pintar menyiasati pertandingan mana yang akan diikuti. Itu berlaku di semua negara," kata Neta.

Bahkan untuk beberapa event semua akomodasi sudah ditanggung. Jadi seorang wasit tak harus merogok kocek lagi untuk penginapan dan lainnya.

"Bagi orang-orang yang hobinya traveling itu seperti hobi yang dibayar. Karena dia tak merasa bekerja karena oke fokus kerja karena suka dan sisanya itu bisa jalan tidak mengeluarkan apa-apa."

Peluang Indonesia untuk bisa memimpin wasit di gelaran internasional pun terbuka lebar.

"Wasit Indonesia itu lebih banyak dipilih dibanding negara lain, karena atlet-atlet kita yang bertanding masih jarang," kata Neta.

Untuk itu, dunia perwasitan Indonesia harus mengalami peningkatan. Mulai dari pengetahuan hingga pengalamannya. Kemudian juga jaga motivasi.

Neta sendiri melakukan hal tersebut. Dia terus mencari pengalaman sehingga ketika ada ajang besar seperti Olimpiade dan Paralimpiade, Neta sudah siap.

"Karena namanya kesuksesan itu ada persiapan yang dipertemukan dengan kesempatan," ujar Neta yang juga berprofesi sebagai pelatih.

"Jika tidak ada kesempatan, saya juga tidak bisa mengikuti seleksi. Tetapi ketika saya tidak siap, contohnya saja di Olimpiade Tokyo, saya juga gagal. Jadi kalau saya tak siap walaupun ada kesempatan, ya gagal juga," katanya.

Dia juga mengajak semua perempuan Indonesia untuk terus berkarya. "Jangan berhenti karena sekeliling kita mengatakan tidak usah. Kita jangan pernah menyerah," Neta menuturkan.

Baca juga: Cara menyaksikan siaran langsung atlet Indonesia di Paralimpiade Tokyo


Dari atlet jadi wasit

Perjalanan Neta menjadi seorang wasit berangkat dari latar belakangnya sebagai atlet. Dia pernah 10 tahun berada di pelatnas.

Pada multievent, dia pernah meraih perunggu pada nomor 51kg putri SEA Games Manila 2005 dan peraih perak nomor 62kg putri pada SEA Games Laos 2009.

Selain itu deretan medali juga sukses dia peroleh di berbagai ajang lainnya. Neta menjelaskan kepada Antara, bahwa kecintaannya kepada Taekwondo berlanjut meski sudah tak lagi menjadi atlet.

"Jadi ketika pensiun menjadi atlet, sepertinya di kepelatihan sudah penuh. Jadi, ketika penuh saya mau berkarier di mana, sedangkan keahlian saya taekwondo," katanya.

"Jadi saya melihat kenapa tidak di perwasitan. Karena perwasitan ini harus berubah dari segi tingkat kejujurannya, manajemen pertandingannya dan harus lebih baik lagi," Neta menambahkan.

Dengan menjadi wasit, Neta juga punya harapan tinggi. Karena dengan pengalaman memimpin pertandingan internasional, dia juga meningkatkan kualitas pertandingan di Indonesia.

"Dengan kualitas wasit saat memimpin pertandingan, atlet-atlet kita yang go internasional juga makin banyak. Jadi memang wasit itu adalah inti dalam sebuah pertandingan. Tanpa wasit kita tidak tahu siapa yang akan menjadi juaranya."

Dia berharap ke depan akan lebih banyak lagi wasit-wasit Indonesia yang memimpin pertandingan di berbagai negara.

Baca juga: Kondisi psikologis atlet faktor penting di Paralimpiade Tokyo


Pemerintah mulai perhatian

Dalam kesempatan ini, Neta juga mengatakan perhatian pemerintah kepada wasit Indonesia sudah jauh lebih baik dari ketika dia debut memimpin pertandingan di Olimpiade Rio de Janeiro.

Ketika itu, Neta harus mengalami pengalaman tak menyenangkan. Perlakuannya jauh berbeda dengan saat ini.

"Saya di Rio menjadi wasit satu-satunya dari Indonesia. Saya pikir, saya dan atlet sama-sama membawa Merah Putih ke ajang tersebut. Tetapi saya perlakuannya berbeda," katanya.

Neta sempat melapor kepada NOC Indonesia bahwa dia turut serta menjadi wasit di Olimpiade Rio de Janeiro. Namun dia tak mendapat sambutan hangat lantaran wasit dianggap bukan dari bagian Kontingen Indonesia.

"Waktu lima tahun lalu itu saya sendirian. Saya sempat bingung ketika ke Sao Paulo karena tiket yang dikirim dari Federasi itu melalui Eropa. Saya bilang tidak punya visa schengen," katanya.

"Akhirnya saya harus nunggu 24 jam untuk terbang dijadwal berikutnya dan mendapat tiket baru dari Federasi Dunia. Jadi kejadian-kejadian seperti ini kalau ada yang menaungi negara itu kan enak bisa lapor dan koordinasi. Tidak terlunta-lunta," katanya.

Lima tahun berlalu, pengalaman pilu itu kini telah berubah manis. Wasit Indonesia yang berangkat baik ke Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo mendapat perlakukan jauh lebih baik.

"Setelah 11 tahun baru hari ini saya bahagia banget jadi wasit. 11 tahun di international referee hari ini pemerintah full support," kata Neta.

"Itu berbeda banget kejadiannya dengan di Rio de Janeiro. Jadi bersyukur kali ini pemerintah benar-benar perhatian ke wasit-wasit."

"Ternyata yang Olimpiade Tokyo ada enam orang di SK kan, semuanya dapat fasilitas dari negara. Baik itu jaket, karantina, semua seperti PCR pun dibantu. Jadi benar-benar beda perlakuannya dengan lima tahun lalu."

Pun demikian dengan yang berangkat Paralimpiade Tokyo. Semuanya mendapat perhatian dari pemerintah. Dia berharap pemerintah terus konsisten untuk mendukung kiprah wasit Indonesia

Dalam kesempatan ini, Neta menyampaikan terima kasih kepada Kemenpora atas perhatian untuk wasit di Paralimpiade Tokyo.

"Terima kasih NPC Indonesia dan UTI-Pro. Jadi event kali ini memang begulir di tengah pandemi, tetapi bersyukur atlet, pelatih, wasit, dan ofisial yang lainnya untuk ajang besar ini semua diperhatikan dan all out untuk kita semua," kata Neta.

"Semoga hasilnya lebih baik dan atlet di Paralimpiade juga bisa meraih hasil maksimal."

Selamat bertugas Neta!

Baca juga: KBRI Tokyo siap bantu atlet Indonesia di Paralimpiade

Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2021