Yogyakarta (ANTARA News) - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, dirinya akan mempertimbangkan kembali jabatannya sebagai kepala daerah di provinsi tersebut.

"Jika sekiranya saya dianggap pemerintah pusat menghambat proses penataan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), jabatan gubernur yang ada pada saya saat ini akan saya pertimbangkan kembali," katanya di Yogyakarta, Sabtu.

Hal itu disampaikan Sultan menanggapi pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rapat kabinet terbatas di Jakarta, Jumat (26/11), bahwa sistem monarki tidak sesuai dengan sistem demokrasi.

"Saya akan mempertimbangkan kembali jabatan gubernur DIY itu merupakan pernyataan politik saya. Silakan bagaimana mau menafsirkannya," kata Sultan yang juga Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Menurut dia, dirinya tidak mengetahui sistem monarki yang disampaikan dan dimaksud pemerintah pusat, karena Pemerintah Provinsi (Pemprov) DIY itu sama dengan provinsi lain di Indonesia, seperti dalam organisasi, manajemen, perencanaan, dan pertanggungjawaban pemerintahan.

"Hal itu sesuai dengan konstitusi baik UUD 1945 maupun peraturan pelaksanaannya. Semuanya sama dengan provinsi lain, tidak ada yang berbeda dengan yang lain," katanya.

Ia mengatakan, hal itu perlu disampaikan agar rakyat Indonesia, khususnya DIY, tidak memiliki asumsi bahwa pemerintahan di DIY adalah sistem monarki. Selama ini, pemerintahan di DIY sama dengan provinsi lain.

"Saya juga tidak mengerti, mengapa disebut monarki. Apa karena Sultan yang menjadi gubernur?," katanya.

Menurut dia, persoalan pemilihan atau penetapan kepala daerah di DIY itu merupakan ranah kepentingan rakyat. Proses pemilihan atau penetapan kepala daerah di DIY itu tergantung rakyat karena yang menentukan mereka.

"Jika bicara demokratisasi itu pengertiannya pemilihan, bagaimana dengan jabatan wali kota Jakarta. Jabatan itu tanpa pemilihan, tetapi tidak ada yang mempermasalahkan, tidak ada yang menyatakan tidak demokratis," katanya.

Oleh karena itu, Sultan berharap ada dialog publik yang didasari ketulusan dan kejujuran, sehingga masyarakat dapat menjadi subjek dalam demokrasi.

"Itu harapan saya, sehingga demokrasi dilihat tidak sekadar pada aspek prosedural mengenai pemilihan atau penetapan," katanya.

Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010