Jadi bukan untuk dikasihani, justru harus ditempatkan sebagai manusia yang mandiri
Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI Ahmad Taufan Damanik mengatakan praktik pemasungan terhadap penyandang disabilitas mental atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) masih menjadi permasalahan serius karena kultural yang ada di masyarakat menganggap hal yang lumrah terjadi.

"Praktik pemasungan sampai hari ini menjadi permasalahan serius, tidak saja persoalan struktural, tapi persoalan kultural karena ada semacam pembenaran dari norma sosial masyarakat," kata Ahmad Taufan dalam diskusi publik virtual bertajuk "Penyandang Disabilitas Mental di Panti-Panti Sosial Berhak Merdeka", Jumat.

Dia menyebut fenomena yang terjadi di masyarakat jamak menganggap pemasungan adalah hal lumrah untuk mengatasi permasalahan yang dialami penyandang disabilitas mental.

Padahal perlakuan itu merupakan satu tindakan atau praktik yang tidak menjunjung tinggi harkat dan martabat seorang manusia, ujar Taufan.

Sesuai dengan prinsip dan asas kemanusiaan, dia mengatakan pula, para penyandang disabilitas mental memiliki hak yang sama dengan manusia lain.

Taufan menyebut Pasal 19 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas telah menegaskan jaminan prinsip non-diskriminasi dan pengakuan atas kesetaraan hak bagi penyandang disabilitas untuk hidup mandiri dalam masyarakat.

"Jadi bukan untuk dikasihani, justru harus ditempatkan sebagai manusia yang mandiri," ujar dia pula.

Dia menilai bahwa seharusnya ada sebuah sistem atau mekanisme yang bisa membuat semua orang, termasuk penyandang disabilitas mental hidup mandiri dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara.

Bahkan, lanjut Taufan, kondisi sebenarnya dari penyandang disabilitas mental harus menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan kebijakan.

Dalam diskusi yang sama, Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Yeni Rosa Damayanti mengatakan bahwa panti-panti sosial di Indonesia justru menjadi tempat yang mengkhawatirkan bagi penyandang disabilitas mental, termasuk praktik pemasungan.

Dia menerangkan bahwa banyak penyandang disabilitas mental dalam panti sosial yang dipasung atau dirantai, meskipun sudah dalam kondisi terkurung.

"Pemasungan terjadi di panti-panti sosial untuk mengurung penghuni," kata Yeni.

Ia menambahkan, tidak ada perlindungan serta tidak ada mekanisme pengaduan bagi penghuni atau penyandang disabilitas mental, karena pelaku pemasungan tersebut adalah petugas panti itu sendiri.

Karakteristik panti sosial yang bersifat sangat tertutup, juga menyulitkan bagi pengawasan dan upaya pengaduan atas praktik-praktik kekerasan, termasuk pemasungan.

Yeni memberikan rekomendasi atas permasalahan ini, yaitu agar Kementerian Sosial (Kemensos) menerapkan standar minimum pelayanan penghuni panti sosial, mengkaji ulang standar akreditasi panti sosial, serta memerintahkan panti sosial untuk menjadi institusi yang terbuka.

Selaras dengan apa yang disampaikan Ketua Komnas HAM, rekomendasi terakhir dari Yeni adalah deinstitusionalisasi, yaitu membuat panti sosial yang dapat memperlakukan penyandang disabilitas mental untuk hidup secara inklusif di masyarakat.
Baca juga: KuPP dan Kemenkes komitmen hapus praktik pemasungan di Indonesia
Baca juga: Mensos: Pengentasan masalah pasung menjadi tugas seluruh pihak

Pewarta: Muhammad Jasuma Fadholi
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021