Kota Gaza (ANTARA News) - Pemimpin senior Hamas, Ismail Haniya, mengatakan pada hari Rabu (1/12) bahwa kelompok Islam itu akan menerima perjanjian perdamaian dengan Israel jika rakyat Palestina menyetujuinya melalui referendum.

Pernyataannya itu tampaknya menandakan peralihan kebijakannya dalam waktu lama yang menolak menerima keabsahan Israel ataupun perjanjian perdamaian yang dirundingkan oleh presiden Palestina Mahmoud Abbas.

Hamas "akan menghormati hasil referendum meski hasil itu bertentangan dengan sikap Hamas", kata Haniya pada konferensi pers yang jarang ia lakukan dengan wartawan-wartawan asing.

"Kami menerima negara Palestina dengan kedaulatan penuh di tanah yang diduduki pada 1967 dengan Jerusalem sebagai ibukotanya dan penyelesaian masalah pengungsi," ia menambahkan.

Bagaimanapun, seorang pejabat pemerintah Israel menyatakan bahwa Haniya tidak pernah mengatakan secara eksplisit Hamas akan siap mengakhiri konfliknya dengan Israel.

"Mereka tidak pernah mengatakan bahwa negara Palestina yang hidup berdampingan dengan Israel akan cukup bagi mereka, tapi lebih baik bahwa mereka akan menerimanya," kata dia, yang berbicara tanpa menyebut nama. "Pemberitahuan yang tak pernah ia katakan bahwa mereka kemudian ingin hidup dengan Israel setelah itu."

Hamas memang telah berulang kali mengejek pembicaraan dengan Israel sebagai membuang-buang waktu dan Haniya menyatakan ia masih tidak yakin bahwa pembicaraan perdamaian akan menghasilkan perjanjian.

"Tidak akan ada solusi dengan dua negara di tanah itu ... Israel ingin tanah ini, perdamaian, dan keamanan dengan kami dan ini seuatu yang tidak mungkin."

Hamas memperoleh kemenangan dalam pemilihan anggota parlemen pada 2006, mengalahkan kelompok Fatah pimpinan Abbas. Ketegangan yang telah berlangsung lama antara kedua saingan itu mendidih pada Juni 2007, ketika pasukan kelompok Islam itu mengalahkan Fatah dan merebut kekuasaan di Gaza.

Semua upaya rekonsiliasi antara kedua belah pihak, sebagian besar dari upaya itu ditengahi oleh Mesir, telah gagal. Fatah dan Hamas saling menuduh pihak lainnya telah merusak kepercayaan dengan menganiaya saingan-saingan politik di wilayah yang berada di bawah kekuasaan mereka.

Abbas memulai lagi pembicaraan langsung dengan Israel pada September lalu dengan tujuan mencapai perjanjian perdamaian dalam setahun.

Tapi pembicaraan macet beberapa pekan kemudian setelah Israel menolak memperbarui kembali moratorium 10 bulan terhadap pembangunan permukiman di Tepi Barat yang berakhir pada 26 September lalu.

Hamas acap kali mengkritik Abbas karena menyetujui pembicaraan dengan Israel.

"Pembicaraan dengan pendudukan hanya akan menghasilkan kegagalan," kata jurubicara Hamas Sami Abu Zuhri pada AFP Maret lalu, setelah pertemuan para menteri luar negeri Arab di Kairo yang mendukung gagasan pembicaraan tidak langsung yang diperantarai AS.

"Alternatifnya bagi Abbas adalah kembali ke opsi patriotik, pada apa yang Arab dukung dan Palestina inginkan, opsi ketabahan dan perlawanan," jelas Abu Zuhri.

Haniya Rabu juga menjawab pertanyaan mengenai kelompok garis keras di Gaza, tempat pengamat Israel dan lainnya mengkhawatirkan kelompok seperti Al Qaida memperoleh tempat berpijak.

"Al Qaida tidak ada di Jalur Gaza, tapi ada perlawanan pada pendudukan," katanya, dan menambahkan bahwa kelompok perlawanan utama tidak bertindak di luar Gaza atau Palestina".

Ia juga minta dimulainya kembali pembicaraan mengenai pembebasan prajurit Israel Gilad Shalit, yang ditahan di Gaza sejak penculikannya oleh gerilyawan garis keras Palestina dalam serangan lintas-batas Juni 2006.

Ia mengatakan, Hamas ingin mencapai perjanjian yang melibatkan "pertukaran terhormat" para tawanan.

Shalit telah tidak dilihat oleh pengamat luar atau wakil Palang Merah sejak penangkapannya dalam serangan mematikan di perbatasan Gaza itu.

Hamas, yang ikut serta dalam penculikan Shalit dengan beberapa kelompok gerilyawan lainnya, sedang berusaha membebaskan ratusan tawanan Palestina sebagai pertukaran bagi pembebasan prajurit itu, demikian laporan AFP.
(Uu.S008/P003)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010