Jakarta (ANTARA News) - Anggota DPD dari daerah pemilihan DKI Jakarta Djan Faridz berharap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lebih memaksimalkan pajak online, bukan pajak Warteg.

"Potensi pertambahan penerimaan pajak dari warteg Rp50 miliar jelas tidak signifikan dibandingkan potensi kehilangan akibat tidak jalannya sistem `online`," kata Djan Faridz dalam siaran persnya, Selasa.

Dia mengungkapkan bahwa sejak sistem "online" diperkenalkan kurang lebih dua tahun untuk penerimaan pajak daerah, baru terdapat 240 wajib pajak yang ikut berpartisipasi dalam sistem tersebut.

Sementara itu Pemda DKI berencana mengenakan pajak atas usaha warteg setelah melakukan intensifikasi penerimaan pajak atas usaha warteg ternyata tidak signifikan.

Djan Faridz mengungkap potensi pajak warteg berdasarkan informasi Kepala Bidang Peraturan dan Penyuluhan Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Arif Susilo akan bertambah Rp50 miliar (dengan catatan ada sekitar 2.000 unit warteg di Jakarta).

Namun, lanjutnya, penerapan pajak terhadap warteg ternyata telah menimbulkan polemik yang memaksa Gubernur DKI Jakarta menunda penetapannya.

"Pajak warteg ini ibarat pepatah; kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak dilihat dari sisi potensi penerimaan pajak daerah," kata Djan Faridz.

Menurut dia, penerimaan pajak akan mencapai tiga kali lipat apabila sistem "online" dijalankan maka target penerimaan pajak daerah atas hotel, restoran dan hiburan tahun 2010 yang total Rp1,690 triliun seharusnya dapat terealisasi hingga mencapai angka Rp5,070 triliun.

"Coba kita bandingkan antara potensi penerimaan pajak warteg dibandingkan pajak online apabila diterapkan, yaitu masing-masing Rp50 miliar dan Rp3,380 triliun (potensi kehilangan penerimaan), itu hanya sebesar 1,48 persen," katanya menambahkan.

Djan Faridz setuju atas UU Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah yang mengatakan bahwa bagi usaha penyedia makanan dan minuman yang memiliki penghasilan Rp60 juta per tahun atau sekitar Rp5 juta per bulan atau sekitar Rp167 ribu per hari akan dikenakan pajak sebesar 10 persen bagi pengunjung rumah makan tersebut, termasuk warteg.

"Yang perlu dikaji terlebih dahulu adalah siapa yang menjadi konsumen atas warteg. Janganlah berbicara tentang keadilan," tegasnya.

Dia juga mengatakan bahwa kebijakan tersebut justru menyengsarakan rakyat, karena yang membayar pajak 10 persen tersebut bukan pedagang melainkan si pembeli.

"Sebesar 95 persen konsumen warteg adalah rakyat kecil yang mempunyai penghasilan rendah atau kalangan menengah ke bawah," ungkap Djan Faridz.

Berdasarkan penelitian, katanya, setiap kenaikan harga barang terutama bahan makanan sebesar 10 persen akan menaikan tingkat kemiskinan sebesar 3,5 persen.

Karenanya, peraturan tersebut akan ikut menaikan tingkat kemiskinan mengingat yang melakukan konsumsi atas warteg adalah rakyat kecil.

"Pemda DKI seharusnya menyadari masih banyak potensi penerimaan yang sampai sekarang belum digali secara maksimal seperti atas pajak hotel, restoran dan hiburan," tambahnya.

Penerimaan dari sektor inilah yang harus di intensifkan bukan malah sebaliknya urusan pajak warteg yang jelas tidak terlalu signifikan penerimaannya, tegas Djan Faridz.(*)
(T.J008/R007/R009)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010