Jakarta (ANTARA News) - Suatu saat nanti, makan di warung tegal (Warteg) kemungkinan akan sama mahalnya dengan di restoran-restoran modern dan asing, jika pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, mengenakan pajak 10 persen kepada pengelola warteg.

Menjadi lebih mahal dari harga sekarang adalah konsekuensi logis dari pengenaan pajak, karena pemilik warteg kemungkinan besar mengkompensasi beban pajak itu dengan menaikkan harga produknya.

Padahal, penikmat warteg kebanyakan adalah warga kelas menengah ke bawah. Jika sepotong daging ayam di warteg, sama dengan harga sepotong ayam di restoran cepat saji modern, maka tentu saja akan menjadi pukulan terhadap pengelola warung tegal.

Oleh karena itu, kepada ANTARA News, sejumlah pengelola warteg serempak menentang rencana itu.

Di samping akan membuat dagangannya tidak laku mengingat beban pajak memaksa harga produk dinaikkan, juga karena sebagian besar dari pengelola warteg sudah rutin mengeluarkan biaya sejenis pajak kepada baik aparat resmi, maupun tidak resmi.

"Aduh, jangan deh mas, yang ini saja belum tentu habis semua," kata Abu Bakar (37), penjual gado-gado di Jalan Agus Salim atau dulu bernama Jalan Sabang, Jakarta Pusat.

Deni, yang menolak menyebutkan nama lengkapnya, dan pemilik warung makan padang di daerah sama dengan Abu Bakar, mengatakan rencana pengenaan pajak itu jelas mengewakannya, apalagi setiap tahun dia disiplin membayar pajak.

"Setiap tahun kami selalu bayar, masa harus dinaikan lagi?" kata Deni.

Konsumen juga yang tanggung

Masnur Hidayat (31), pemilik warteg "Ibu Wati" di Jakarta Pusat, menyuarakan suara sama dengan Deni. Dia menilai beban pajak akan semakin memperbesar pengeluaran mereka, apalagi segala kebutuhan hidup belakangan ini terus naik.

"Biaya hidup di Jakarta sudah berat, jangan ditambah lagi," kata Masnur, kesal.

Para konsumen warung tegal sendiri seakan menyampaikan solidaritas kepada para penyaji makanan di warung tegal, misalnya Muhammad Ilham.

Pria berusia 25 tahun dan pegawai satu operator komunikasi swasta di Jakarta Pusat ini mengungkapkan kekurangsetujuannya pada langkah Pemda DKI membebankan pajak kepada pemilik warteg.

Dia ingin pemerintah daerah juga menerangkan kepada pemilik warteg mengenai kompensasi yang mereka peroleh jika pajak dikenakan kepada mereka.

"Take and give-nya harus jelas. Mungkin setiap warteg dipasangi AC," kata Ilham.

Lain lagi dengan Syahroni (28), seorang tukang ojek di daerah tersebut. Dia tidak bersetuju dengan pengenaan pajak kepada warteg, karena itu berarti bakal menaikkan harga makanan di warteg.

"Setiap siang saya makan di warteg," kata Syahroni, menggambarkan ketergantungannya kepada warteg.

Jika makanan di warteg dinaikkan, tentu akan membuat Syahroni merogoh lagi kantong lebih dalam, dan itu berarti dia harus semakin sporadis mengejar penumpang. Bukan tidak mungkin, Syahroni dan tukang ojek lain menaikkan ongkos jasa ojeknya.

Dilemma pemilik warteg

Para pemilik warteg gamang. Ada yang berencana menaikkan harga, tapi hanya sedikit yang berjanji untuk membiarkan harga makanan mereka seperti sekarang berlaku.

"Mau bagaimana lagi, semoga pelanggan dan pembeli mau memahami," kata Deni yang berencana menaikkan harga.

Sementara Masnur masih ragu untuk menaikkan harga. "Saya bingung mau ngomong apa ke pelanggan nanti," ujarnya.

Masnur bingung menjelaskan kepada pembeli, karena harga komponen-komponen masakan di warung tegal belum naik.

"Mahal banget bang, harga sembako di pasar saja tidak naik," kata Masnur.

Sedangkan Abu berencana tidak menaikkan harga karena takut jika pelanggannya beralih ke warung lain. "Nggak usah dinaikkan lah, entar kabur semua langganan saya," kata Abu.

Masnur mengaku rutin menyetorkan biaya retribusi keamanan setiap bulan. (*)

editor: jafar sidik

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010