Jakarta (ANTARA News) Rancangan Undang-undang Intelijen menurut lembaga swadaya masyarakat, Imparsial, seharusnya menjadi jalan bagi reformasi serta akuntabilitas intelijen.

"Sesungguhnya undang-undang intelijen adalah pintu masuk untuk melakukan reformasi intelejen," kata Al Araf Direktur program Imparsial saat jumpa pers di Jakarta, Selasa.

Namun, lanjut Araf, dalam draft RUU itu azas HAM dan negara hukum tidak dimasukkan, demikian juga  mekanisme penyadapan tidak diatur secara rinci.

Araf menilai RUU itu bermakna bahwa Badan Intelejen Negara (BIN) akan diubah menjadi LKIN (Lembaga Kordinasi Intelejen Negara).

LKIN menurut Araf akan memiliki kewenangan yang sangat luas untuk kordinasi, membuat kebijakan, menghadapi ancaman dalam dan luar negeri. Masalahnya,  RUU itu hanya berbicara mengenai intelejen dari unsur Polisi, TNI, dan kejaksaan sehingga akuntabilitasnya kurang terhadap publik sipil.

"Intelejen di luar militer seharusnya sipil," ujarnya lalu mengatakan bahwa pengawasan terhadap intelejen harus berlapis, tak bisa satu.

Sementara itu Mufti Makaarim Direktur eksekutif IDSPS (Institute for Defense Security and Peace Studies ) mengatakan bahwa reformasi intelijen  harus memperhatikan tiga hal yaitu komando sipil yang efektif, pengawasan legislatif dan keterlibatan publik.

Komando sipil berarti  presiden adalah penentu "hitam-putih" intelijen, pengawasan legislatif berarti kewenangan DPR terhadap institusi intelejen, dan keterlibatan publik  berarti lembaga intelejen tidak  dinominasi dengan hal-hal yang tertutup dari publik.

Ia mencontohkan reformasi intelejen itu seharusnya memuat pengembangan skill. Cara konvesional dalam menggali informasi dengan melakukan siksaan harus diganti dengan menggunakan kecanggihan teknologi.

"Di satu sisi ia badan publik dan di sisi lain ia penuh kerahasiaan (full of secrecy). Itu salah, justru intelejen membutuhkan akuntabilitas,"ujarnya.

Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi), Rizal Darmaputra, mengungkapkan bahwa ada keganjilan dalam pembahasan RUU intelejen di parlemen.

"RUU adalah hak inisiatif dari DPR, RUU itu tetapi tidak mendeskrispsikan secara rinci democratic over side dan hak DPR dalam melakukan pengawasan terhadap institusi intelejen," katanya.

Dia mengemukakan rincian democratic over side itu DPR harus memiliki akses terhadap dokumen intelejen adan adanya executive  order  berarti pengawasan khusus terhadap lembaga intelejen.

Mengenai persoalan aliran dana ia mengungkapkan memang jika intelejen meminta dana operasi kepada PPATK (Pusat Pelaporan Transaksi Keuangan) maka lembaga itu wajib memberikannya.

"Namun, hal itu perlu dikhawatirkan karena bisa saja digunakan sebagai alat bagi si user untuk mempolitisasi lawan politiknya," kata Rizal.
(yud/A038/BRT)

Pewarta: Yudha Pratama Jaya
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010