Jakarta (ANTARA News) - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai bahwa pemberlakuan "Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa" merupakan sesuatu yang positif bagi penegakan hukum dan HAM di Indonesia.

"Penandatanganan konvensi ini sangat positif bagi Indonesia," kata Chrisbiantoro, staff impunity, wacth and fullfiling victims rights division Kontras, Rabu di Jakarta.

Chris mengungkapkan bahwa konvensi tersebut menstandarisasi aturan HAM di kawasan ASEAN. "Konvensi ini akan membawa dampak positif bagi kinerja badan PBB untuk penghilangan paksa 'United Nations Working Group or Involuntary Disappearences '(UNWGEID) khususnya di negara-negara yang telah meratifikasi konvensi ini," kata Chrisbiantoro.

Dia menegaskan konvensi tersebut penting untuk segera diratifikasi pemerintah karena Indonesia memiliki sejarah panjang praktik penghilangan paksa, di antaranya kasus G30S 1965 - 1966, kasus penembakan misterius 1981 -1983, kasus Tanjung Priok 12 september 1984, kasus Talangsari 1989, kasus penghilangan paksa aktivis 1997-1998 dan kasus DOM aceh 1989-1998.

"Kepentingan kita untuk meratifikasi adalah demi memberikan kepastian hukum bagi masyarakat agar tidak menjadi korban penghilangan paksa, mencegah keberulangan praktik penghilangan paksa dan sekaligus untuk pengakuan bahwa praktik penghilangan paksa adalah kejahatan kemanusiaan yang sangat serius," katanya.

Koordinator Kontras Haris Azhar menilai bahwa Indonesia sudah mempunyai basis hukum yang baik untuk kasus penghilangan orang yang terjadi di masa lalu. Haris mengatakan penandatanganan konvensi tersebut sifatnya komplemen untuk hukum dan undang-undang HAM yaitu memperkuat revisi UU 26 tahun 2006 dan RUU KUHP.

Pemberlakuan konvensi tersebut memiliki relevansi erat dengan rekomendasi DPR RI 28 september 2009 yaitu "merekomendasikan agar pemerintah segera meratifikasi konvensi anti penghilangan paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia".

"Tetapi kebutuhan itu justru tidak mampu diterjemahkan oleh DPR karena tidak mencantumkan konvensi itu dalam daftar prioritas program legislasi nasional (Prolegnas) 2011," kata Haris.

Dia juga mengingatkan bahwa kondisi itu juga sangat bertolak belakang dengan rencana aksi nasional hak asasi manusia (RAN HAM) 2010-2015 yang mengagendakan ratifikasi konvensi itu.

Kontras meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar memberikan prioritas terhadap rencana ratifikasi konvensi tersebut. Kontras juga mengimbau agar Komnas HAM juga harus mengambil inisiatif untuk memuluskan proses ratifikasi.
(Yud/A038/BRT)



Pewarta: Yudha Pratama Jaya
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010