Jayapura (ANTARA) - Pernyataan Perdana Menteri Republik Vanuatu Bob Loughman dalam rangkaian Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 26 September 2021 kembali mengusik bangsa Indonesia terkait Papua.

Dalam pidato virtualnya, Loughman kembali mendesak Pemerintah Indonesia untuk mengusut dugaan pelanggaran HAM terhadap masyarakat Papua dan mengizinkan Kantor HAM PBB untuk mengunjungi Papua.

Dia juga mengajak komunitas internasional yang dipimpin organisasi PBB untuk mengambil tindakan serius terkait pelanggaran HAM di Papua.

Pernyataan Vanuatu itu langsung ditampik oleh Sekretaris Ketiga Perwakilan Tetap RI di PBB, New York, Sindy Nur Fitri yang menyatakan pernyataan Vanuatu dalam sesi ke-75 terkait Papua itu sebagai hal yang terus mengusik kedaulatan negara lain, serta tuduhan agresif dengan niat buruk dan dasar politis terhadap Indonesia.

Baca juga: Dalam sidang Dewan HAM PBB, Indonesia kembali sanggah tudingan Vanuatu

"Vanuatu berusaha untuk membuat dunia terkesan dengan apa yang disebut sebagai kekhawatiran terhadap isu HAM. Kenyataannya, HAM versi mereka gagal untuk menyoroti tindakan teror yang tak manusiawi dan keji, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok separatis kriminal bersenjata,” demikian jawaban Sindy atas pernyataan Loughman

Sindy menyebut Vanuatu gagal melihat fakta di lapangan terutama terkait pelanggaran HAM yang justru dilakukan kelompok-kelompok separatis kriminal bersenjata terhadap tenaga pendidik, pekerja konstruksi, hingga yang terbaru terhadap tenaga kesehatan yang bertugas mengabdi kepada masyarakat Papua.

Pernyataan Vanuatu yang menyinggung HAM di Papua pada 2021 itu bukanlah kali pertama menyerang Indonesia. Mereka selalu mengeluarkan pernyataan itu sejak 2016 tanpa melihat fakta kontribusi masyarakat daerah lain terhadap masyarakat Papua, bukan saja dari Pemerintah Indonesia.

Baca juga: Jawab tuduhan pelanggaran HAM, RI tegaskan Vanuatu bukan wakil Papua


Bertepatan PON XX
Momentum Sidang Umum PBB pada akhir September 2021 itu bertepatan dengan penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XX yang berlokasi di Provinsi Papua, pada 2-15 Oktober.

Bahkan, sejumlah pertandingan PON XX telah digelar bahkan sejak pertengahan September dan sebagian kontingen dari berbagai daerah pun telah tiba di provinsi paling timur Indonesia itu sebelum upacara pembukaan.

Penyelenggaraan PON sejatinya merupakan kompetisi olahraga nasional, tapi kegiatan itu juga menimbulkan dampak ikutan. Sebut saja dampak ekonomi, pengenalan kehidupan masyarakat lokal Papua, hingga keakraban antara warga lokal dengan tamu-tamu kontingen dari daerah lain.

Baca juga: Menpora akan berkantor di Papua untuk pastikan PON lancar

PON XX sekaligus menjadi pembuktian Papua bisa menjadi tuan rumah kegiatan tingkat nasional seperti pertandingan multi-cabang olahraga, bahkan tidak menutup kemungkinan sebagai tuan rumah kompetisi olahraga internasional.

Pembuktian itu tidak hanya dilakukan pemerintah daerah dan jajaran anggota dewan daerah, melainkan juga keterlibatan dari berbagai lapisan masyarakat, yang mewujud dalam komitmen untuk menyambut saudara-saudara dari provinsi lain.

Sementara dari sisi kontingen tuan rumah, penyelenggaraan PON menjadi wujud kemampuan mereka berkompetisi dalam ajang olahraga prestasi.

Dampak ikutan penyelenggaraan sekaligus pembuktian Papua sebagai bentuk komitmen tuan rumah menjadi hal persatuan bangsa Indonesia yang tidak terpisahkan jarak, terpisahkan adat budaya, hingga terpisah akibat pandemi COVID-19.

Pemenuhan protokol kesehatan pada setiap pelaksanaan pertandingan ataupun kegiatan lain terkait PON XX itu, juga menjadi bukti suku bangsa Indonesia mampu bersatu menghadapi segala tantangan dan mengubah jadi peluang.

Baca juga: Kapolri pastikan pengamanan dan pengawasan prokes PON XX Papua


Masih banyak kekurangan
Penyelenggaraan PON di provinsi paling timur Tanah Air itu tidak serta-merta sempurna, apalagi jika berpatokan pada standard penyelenggaraan Olimpiade Tokyo yang baru digelar pada Juli-Agustus 2021 dengan orientasi protokol kesehatan maupun kepedulian lingkungan.

Setidaknya, PON seakan menyedot perhatian masyarakat Indonesia terhadap Papua, terhadap kehidupan masyarakatnya, terhadap keindahan dan kekayaan alamnya, terhadap rasa persatuan sebagai bangsa, serta terhadap segala keunggulan dan mungkin kekurangannya.

Bisa saja sejumlah persoalan terkait Papua belum benar-benar tuntas di Bumi Cenderawasih karena orientasi pembangunan yang dibangun Pra-Reformasi dan mungkin setelahnya masih belum sempurna di timur Nusantara itu.

Mungkin melalui PON XX, melalui dampak kegiatan ekonomi yang muncul setelah PON, dan pembuktian komitmen masyarakat Papua sebagai tuan rumah akan memunculkan peluang baru bagi kepentingan masyarakat luas Papua.

Baca juga: PON momentum bangkitkan ekonomi non-tambang Papua

Dari sudut kontingen daerah lain yang hadir di empat klaster penyelenggaraan PON XX Papua, yaitu di Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Mimika, dan Kabupaten Merauke, persoalan yang menyelimuti tuan rumah tidak menjadi alasan bagi mereka untuk tidak bersaudara, berjuang, dan meraih prestasi bersama secara nasional untuk melangkah ke tingkat dunia.

Persoalan di Papua boleh jadi telah berlangsung sejak lama misal terkait diskriminasi dan stigmatisasi, terkait kerusakan lingkungan, termasuk hak-hak dasar yaitu kesejahteraan. Tapi PON 2021 itu menjadi pembuka mata bagi semua saudara-saudara Papua dari daerah lain untuk kemudian peduli dan menjadi senasib sepenanggungan, terkait perjuangan mencapai kesejahteraan.


Persatuan dalam olahraga
Bisa jadi, masyarakat di daerah lain juga merasakan ketidak-adilan terkait kesejahteraan seperti dirasakan saudara di Papua. Persatuan antar-masyarakat sebangsa yang kemudian menyatukan untuk maju dan melangkah bersama, seperti yang dilakukan para pendahulu dan pejuang bangsa Indonesia.

Begitu pula agaknya persoalan-persoalan masyarakat lokal muncul di negara lain, sebut saja Vanuatu yang berkali-kali menyoroti Papua dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di dalam negerinya, mereka juga terjegal krisis politik. Krisis kepentingan yang muncul di tingkat elitnya.

Pertanyaannya, apakah karena pengupayaan kesejahteraan yang belum benar-benar selesai di suatu negara menjadi alasan bagi negara lain untuk terus berkomentar terkait itu? Atau justru ada kepentingan tertentu dari negara yang berkomentar dalam forum-forum internasional itu?

Sikap Indonesia dalam hubungan internasionalnya, berpedoman pada Pembukaan UUD 1945 yaitu alinea I dan alinea IV. Dengan demikian, Indonesia menghargai posisi dan persoalan dalam negeri negara lain serta tidak mencampurinya demi menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Baca juga: Pembangunan arena PON Papua berdampak positif terhadap perekonomian

Syahdan, prinsip keadilan, kemerdekaan, dan perdamaian abadi juga hadir dalam setiap kompetisi olahraga, tingkat nasional hingga dunia.

Olahraga itu menyatukan. Dalam kompetisi olahraga, semua kelompok bisa ikut terwakilkan bahkan meskipun mereka tidak punya negara seperti Kontingen Para Pengungsi (refugee) atau Kontingen Rusia yang ikut dalam Olimpiade Tokyo atas nama komite olimpiade mereka, dan bukan negaranya.

Momentum kejuaraan nasional sebagaimana dalam PON juga menjadi cerminan persaingan yang adil dalam bidang kehidupan lain, termasuk hubungan Internasional berdasarkan kesetaraan.

Semua atlet mengikuti aturan yang sama dari setiap cabang olahraga dengan satu tujuan meraih prestasi. Mereka tidak mengurusi pola latihan dan konsumsi gizi lawan bertanding, ataupun hubungan atlet lawan dengan pelatihnya. Mereka fokus pada satu tujuan dalam arena pertandingan.

Cerminan kompetisi dalam olahraga itu, seperti juga dalam Olimpiade, yang semestinya ditiru oleh suatu negara dalam relasi dengan negara lain, tanpa mengurusi pola mekanisme negara menyiapkan diri menghadapi persaingan global.

Mungkin saja, Vanuatu perlu hadir untuk melihat langsung perhelatan PON XX Papua sebelum kembali berbicara soal Indonesia di forum dunia.

Copyright © ANTARA 2021