Jakarta (ANTARA News) - Diskusi tentang keistimewaan Yogyakarta kembali bergulir. Komisi II DPR RI mulai menggelar forum resmi untuk menentukan "nasib" Yogyakarta di tengah tarik menarik argumentasi antara sistem demokrasi dan monarki yang bergulir beberapa waktu lalu.

Sesi awal pembahasan Rancangan Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta di DPR itu melibatkan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.

Dalam pernyataannya, Gamawan kembali menegaskan Yogyakarta akan tetap memiliki keistimewaan. Pada kesempatan itu juga, Gamawan seperti mengulang beberapa hal yang telah disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelumnya.

Gamawan menyebut, beberapa unsur keistimewaan Yogyakarta, antara lain keistimewaan dalam kebudayaan, penataan ruang, serta pengelolaan tanah. Presiden Yudhoyono sebelumnya juga pernah secara khusus menyebutkan pengelolaan tanah sebagai salah satu hal yang akan dibahas dalam Rancangan Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta.

Kewenangan istimewa dalam masalah pertanahan, menurut Mendagri, diwujudkan melalui kewenangan penuh dalam menetapkan kebijakan dan dalam merumuskan Peraturan Daerah Istimewa.

Bahkan, Mendagri berani menjamin bahwa Sultan dan Paku Alam sebagai gubernur utama dan wakil gubernur utama memiliki hak veto dalam urusan pertanahan.

Sultan juga berwenang memberikan arahan umum, kebijakan, pertimbangan, dan persetujuan terhadap rancangan perda yang diajukan oleh DPRD dan gubernur dan/atau perda istimewa yang berlaku, khususnya tentang pertanahan.


"Paniti Kismo"

Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan (online-red) menguraikan kata "veto" termasuk kelas kata benda, yang berarti hak konstitusional penguasa (pemegang pemerintahan, dsb) untuk mencegah, menyatakan, menolak, atau membatalkan keputusan.

Uraian tersebut menjelaskan bahwa veto dalam masalah pertanahan di Yogyakarta lebih terkait pada mekanisme pengaturan, bukan tentang hak milik atas tanah.

Oleh karena itu, veto belum memberikan pemecahan yang menyeluruh terhadap polemik hak milik tanah di Yogyakarta.

Sebagian pihak menilai polemik itu muncul karena Yogyakarta memilih untuk menerapkan sistem khusus dalam mengatur hak dan distribusi tanah. Undang-undang Pokok Agraria tak mampu menembus provinsi yang pernah menjadi ibu kota Indonesia itu.

"Paniti Kismo" adalah badan yang paling mengetahui seluk beluk pengelolaan tanah keraton, yang juga biasa disebut "Sultanaat Grond" atau "Sultan Ground".

Pusat Dokumentasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta menyebutkan, "Sultanaat Grond" merupakan tanah adat peninggalan leluhur yang dimiliki oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Sultan Hamengkubuwono X menyebut tanah keraton sebagai tanah-tanah raja dan keluarga keraton, situs, magersari, serta tanah garapan kosong. "Sultanaat Grond" terhampar luas di berbagai daerah di Yogyakarta.

Untuk mengelola tanah itu, keraton menugaskan sejumlah abdi dalem yang tergabung dalam satuan khusus pengelolaan tanah bernama "Paniti Kismo". Satuan khusus ini memiliki struktur organisasi yang tertata apik hingga tingkat desa.

"Paniti Kismo" memiliki otoritas mengelola pemanfaatan tanah keraton untuk berbagai kepentingan dan kesejahteraan rakyat Yogyakarta.

Menurut Pusat Dokumentasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, rakyat yang berbekal "Serat Kekancingan" tidak dibebani pembayaran pajak kepada "Paniti Kismo" dan keraton.

Bahkan, rakyat juga tidak perlu menyerahkan "Glondhong Pengarem-arem" atau uang yang diberikan oleh rakyat Yogyakarta kepada keraton sebagai ucapan terima kasih karena boleh menggunakan tanah keraton.

Singkat kata, tanah milik keraton itu digunakan secara gratis oleh rakyat Yogyakarta. Rakyat bisa menempati tanah itu secara turun temurun.


Jalan tengah

Penjelasan tersebut memperlihatkan bahwa pengelolaan dan pengaturan hak atas tanah di Yogyakarta berada di antara dua arus besar. Berdasar aturan agraria nasional, pengelolaan tanah secara "tradisional" oleh keraton tidak diakui. Namun, di sisi lain, praktik itu masih berlangsung dan diakui oleh rakyat Yogyakarta.

Celakanya, ide hak veto yang dilontarkan pemerintah belum mengulas tuntas status kepemilikan tanah di Yogyakarta.

Ide tentang hak veto itu sebenarnya sudah muncul dalam sarasehan "Mencari Format Keistimewaan Yogyakarta untuk Kesejahteraan Rakyat dan Kebhinekaan Republik Indonesia" di Balai Senat Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Mei 2007 silam.

Ketua Tim Perumus sarasehan, Prof Dr Sutaryo saat itu menyatakan, Sultan dan Paku Alam sebagai pemimpin spiritual dan kultural masyarakat Yogyakarta mempunyai hak protokoler dan hak veto dalam urusan strategis.

Bahkan, sarasehan itu menawarkan jalan tengah untuk "perseteruan" antara konsep tentang tanah keraton dan konsep tentang penerapan hukum agraria nasional secara menyeluruh di Indonesia.

Peserta sarasehan saat itu menawarkan alternatif dalam masalah hukum pertanahan. Sarasehan menawarkan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualam untuk menjadi Badan Hukum Kebudayaan yang berstatus sebagai subyek hak yang memiliki hak privat saja.

"Atau sebagai subyek hak ulayat yang memiliki hak privat dan hak publik atas tanah keraton," kata Sutaryo ketika membacakan hasil sarasehan, seperti dimuat dalam laman resmi Universitas Gadjah Mada.

Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria S. W. Sumardjono sependapat dengan usulan tersebut.

Penetapan keraton sebagai subyek hak milik (HM) adalah tepat karena hal itu juga diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria serta berbagai peraturan pelaksanaannya, kata Maria saat menyampaikan pendapat di hadapan Komisi II pada pembahasan draf Rancangan Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta, 2007 silam.

Maria mengatakan, penetapan keraton sebagai badan hukum dengan sendirinya akan membuat keraton sebagai subyek hukum yang bisa mengantongi hak milik atas tanah.

Dengan menjadi subyek hukum resmi yang bisa mengantongi hak milik atas tanah, keberadaan keraton tidak akan lekang meski terjadi perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah di Yogyakarta. Selain itu, keberadaan keraton akan semakin kuat jika hak veto yang dijanjikan pemerintah benar-benar diberikan. (F008/Z002/K004)

Pewarta: Oleh F.x. Lilik Dwi Mardjianto
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011