Tunis (ANTARANews) - Pemimpin Islam Tunisia Rached Ghannouchi dijadwalkan kembali ke tanah airnya pada Ahad dari London setelah lebih 20 tahun berada di pengasingan, menyusul penggulingan penguasa otoriter Zine El Abidine Ben Ali.

Kepulangan Ghannouchi itu terjadi bersamaan dengan pelantikan pemerintahan baru.

Kejatuhan Ben Ali mendorong Tunisia melakukan langkah-langkah demokratis termasuk pencabutan kendali media, pembebasan tahanan politik dan pendaftaran partai-partai yang dilarang.

Pemimpin Islam itu masih secara resmi terjerat hukuman seumur hidup yang dijatuhkan rezim lama karena dia berkomplot melawan negara tetapi pada praktiknya para tersangka di pengasingan dapat kembali tanpa halangan dalam beberapa hari terakhir.

Pemerintah telah merancang amnesti yang masih harus dibawa ke parlemen.

Para anggota gerakan Annahdha (Kebangkitan), yang dilarang di bawah Ben Ali, diperkirakan ke pelabuhan udara Tunis untuk menyambut kepulangannya.

Ghannouchi, 69 tahun, mendirikan Annahdha pada 1981 terinspirasi oleh Ihkwanul Muslimin di Mesir tapi sekarang bentuknya lebih seperti Partai Pembangunan dan Keadilan yang berkuasa di Turki.

Hukum Tunisia melarang partai politik berdasarkan agama.

Ghannouchi meninggalkan Tunisia beberapa saat setelah Ben Ali naik ke tampuk kekuasaan lewat kudeta tak berdarah pada 1987. Dalam pemilihan tahun 1989, yang dicurangi, koalisi yang didukung kelompok Islam masih memperoleh suara 17 persen.

Namun setelah itu, penahanan tokoh-tokoh Islam berlangsung dan Ghannouchi melarikan diri pertama ke Aljazair kemudian ke Inggris. Ratusan aktivis Islam yang tak sempat melarikan diri dijebloskan ke dalam penjara, sering karena tuduhan-tuduhan yang mengada-ada.
(M016/A038)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011