Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah wajib menyampaikan kepada rakyatnya mengenai perkembangan program pembangunan terutama yang menyentuh kesejahteraan rakyat dan sebaliknya rakyat pun berhak mengkritisi kinerja pemerintah tersebut.

Rakyat Indonesia berhak menyatakan pendapat mengenai kinerja pemerintah, termasuk program pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan.

Badan Pusat Statistik (BPS) - yang merupakan lembaga resmi negara dalam mengurai data statistik tentang kinerja pembangunan - setiap tahun membuat data statistik angka kemiskinan yang dihasilkan dari sensus dan survei.

Ketika pemerintah menyampaikan kepada publik data dari BPS mengenai angka kemiskinan yang pada tahun ini sebesar 13,33 persen dari penduduk Indonesia atau 35 juta orang miskin dari jumlah penduduk sekitar 237 juta jiwa, sebagian publik menanggapi bahwa pemerintah berbohong.

Pendataan BPS yang menggunakan metodologi berstandar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) "spontan" dipersepsi sebagian publik tanpa metodologi ilmiah yang ditempuh BPS.

Adalah segelintir tokoh masyarakat dan tokoh lintas agama yang menyatakan bahwa data yang disampaikan pemerintah itu bohong.

Bahkan pada Senin (10/1) lalu sembilan tokoh lintas agama, Syafii Maarif, Andreas A Yewangoe, Din Syamsuddin, Pendeta D Situmorang, Bikkhu Pannyavaro, Shalahuddin Wahid, I Nyoman Udayana Sangging, Franz Magnis Suzeno, dan Romo Benny Susetyo, di kantor PP Muhammadiyah mengungkapkan tujuh butir pernyataan berjudul "Pernyataan Publik Tokoh Lintas Agama Pencanangan Tahun Perlawanan Terhadap Kebohongan"

Butir pertama dari tujuh pernyataan itu berbunyi "Pemerintah mengklaim bahwa pengurangan kemiskinan mencapai 31,02 juta jiwa. Padahal, data penerimaan beras rakyat miskin pada 2010 mencapai 70 juta jiwa dan penerima layanan kesehatan bagi orang miskin (Jamkesmas) mencapai 76,4 juta jiwa".

Terlihat betapa data kuantitatif dari BPS dipersepsi secara kualitatif oleh mereka. "Perdebatan masalah kemiskinan bukan soal data melainkan soal interpretasi," kata Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Prof Dr Firmanzah Ph.D.

Pada Diskusi "Polemik Data Kemiskinan: Fakta atau Persepsi" di Jakarta, Jumat, Firmanzah mengatakan, domainnya berbeda, data yang disampaikan pemerintah itu kuantitatif tetapi diinterpretasi sebagian publik secara kualitatif.

Bukan hal aneh, ternyata, BPS sering mendapatkan berbagai komentar bahkan dianggap menyesatkan ketika data yang dikeluarkannya berbeda jauh dengan data yang dikeluarkan lembaga lain seperti Bank Dunia. padahal Bank Dunia justru menggunakannya sebagai acuan, kata Kepala Biro Humas dan Hukum BPS Sairi Hasbullah.

"Data dari BPS sering diperdebatkan khususnya data jumlah kemiskinan karena berbeda jauh dengan data kemiskinan yang dikeluarkan oleh Bank Dunia. Kami tidak bohong sebab staf `World Bank` secara rutin menggunakan data kami," katanya.

Ia menegaskan pada dasarnya Bank Dunia menggunakan data BPS untuk mendapatkan data kemiskinan di Indonesia, karena Bank Dunia melakukan survei sendiri.

"Tidak pernah ada Bank Dunia itu mengumpulkan data kemiskinan apapun. Bank Dunia menggunakan data BPS namun angka dan acuan yang digunakan adalah dolar AS," katanya.

Sebagai contoh, kemiskinan didefinisikan ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk perhitungan terakhir BPS, standar kemiskinan itu ditetapkan sekitar Rp211 ribu per kapita per bulan.

"Bank Dunia itu tetap saja menggunakan data BPS, namun standar kemiskinan yang diubah dengan menggunakan dua dolar AS per hari," katanya.

Oleh karena itu, Sairi meminta dalam memahami data kemiskinan ada kalanya perlu memperhatikan dan memahami varian spektrum di dalamnya yang multi dimensi dan sulit diukur.

"Data kemiskinan bisa diinterpretasikan berbeda-beda namun pada dasarnya apa yang disampaikan BPS itu apa adanya" katanya.

Sairi Hasbullah mengatakan, BPS menggunakan metodologi survei statistik sesuai standar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menjadi acuan dunia dan merupakan data statistik resmi negara untuk mengukur kinerja pembangunan .

"Data BPS yang lebih akurat karena kami langsung mengadakan survei. kalau tidak akurat bagaimana mungkin BPS sejak enam tahun terakhir menjadi lembaga acuan indikator kemiskinan di kawasan Asia Pasifik, dan kami memiliki training center-nya di Lenteng Agung Jakarta Selatan," ujar Sairi Hasbullah.

Sebelumnya, peneliti ekonomi Econit Hendri Saparini menyatakan adanya fakta bahwa kemiskinan makin meluas, sementara pemerintah mengatakan kemiskinan berkurang. Perbedaan ini akibat paradigma yang berbeda, karena BPS tidak menyatakan seorang yang telah bekerja, adalah orang miskin, padahal pendapatan mereka tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan layak sehari-hari.

"Mereka itu masih miskin dan banyak sekali yang seperti itu. Bahkan meluas. Perlu back up konstitusi agar mereka benar-benar diberdayakan agar meningkat taraf hidupnya. Jangan diaku kemiskinan berkurang lantaran banyak orang bekerja," kata peneliti ekonomi Econit Hendri Saparini.

"Ketika disampaikan data kemiskinan yang berkurang tidak bisa masyarakat yang melihat ada orang miskin di sekitarnya bertambah berarti kemiskinan bertambah, itu subyektif," kata Sairi menimpali.

Sasaran tercapai
Sementara itu Deputi Seswapres Bidang Kesra dan Kemiskinan Bambang Widiyanto menyatakan sasaran untuk mengurangi tingkat kemiskinan tercapai yang ditunjukkan dengan penurunan garis kemiskinan dari tahun ke tahun.

"Sasaran tingkat kemiskinan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 sebesar 12 - 13,5 persen tercapai," katanya.

Bambang yang juga Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menunjukkan data penurunan garis kemiskinan per tahun sejak 2007 hingga 2010.

Ia menyebutkan pada tahun 2007 menunjukkan data 16,58 persen penduduk Indonesia berada pada garis kemiskinan, lalu garis kemiskinan turun pada 2008 menjadi 15,42 persen, pada 2009 turun lagi menjadi 14,15 persen, dan turun kembali menjadi 13,33 persen pada 2010.

Pada periode Maret 2009 - Maret 2010 sebanyak 1,5 juta orang berhasil keluar dari garis kemiskinan.

Bambang optimistis proyeksi pada 2011 ini garis kemiskinan bakal kian menurun menjadi 11,5- 12,5 persen.

Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak berbohong dalam mengentaskan kemiskinan sebagaimana yang dituduhkan sementara tokoh masyarakat dan tokoh lintas agama baru-baru ini. Pemerintah sangat berkomitmen untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan dengan melakukan berbagai program yang langsung menyentuh sasaran.

Sedangkan Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Sujana Ruchiyat menyebutkan bahwa dalam pengentasan kemiskinan, pemerintah menempuh melalui tiga program.

Kelompok program pertama berupa bantuan sosial terpadu berbasis keluarga dengan anggaran pembiayaan sebesar Rp48 triliun dari APBN, kelompok program kedua berupa penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat sebesar Rp12 triliun, dan kelompok program ketiga berupa penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil sebesar Rp2 triliun.

"Kalau pemerintah dianggap neolib, tak mungkin menyediakan anggaran Rp48 triliun berupa subsidi penuh ke masyarakat miskin," katanya.

Sujana menyampaikan data bahwa penurunan kemiskinan di Indonesia per tahun paling cepat dibandingkan dengan negara, yakni 0,8 persen sedangkan China 0,15 persen, Brazil 0,11, Filipina 0,01 persen, India bahkan -0,18 dan Meksiko -0,48 persen.

Setelah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, pemerintah menyiapkan PNPM Peduli yang diperuntukkan bagi kalangan rentan yang diistilahkan sebagai "sampah masyarakat".

"Belum ada negara lain yang mempunyai program ini, Indonesia jadi pertama kali. Program ini akan diluncurkan 17 Februari mendatang," katanya.

Sujana pada diskusi tentang data kemiskinan menyebutkan kelompok masyarakat rentan antara lain pengemis, gelandangan, pekerja seks komersial, waria, anak jalanan, dan penderita HIV/AIDS. "Ada sekitar tiga juta orang yang terjebak dalam kelompok masyarakat rentan ini," katanya.

Ia menyatakan banyak donatur yang bersedia membantu program PNPM Peduli itu antara lain dari AS, Australia, dan Uni Eropa. Program PNPM Peduli itu merupakan bagian dari program pengentasan kemiskinan.

Untuk mengentaskan kemiskinan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan sekaligus menunjuk Wakil Presiden sebagai ketua timnya. Perpres inipun sekaligus menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan.

Isu kemiskinan dalam pemerintahan di belahan dunia manapun terlanjur menjadi komoditas politik sehingga data-data kemiskinan bisa mengundang sejuta persepsi.
(B009)

Oleh Oleh Budi Setiawanto
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011