Aparat keamanan siaga di pembukaan pertandingan tinju PON XX di GOR Cenderawasih Jayapura, Selasa (5/10/2021). ANTARA/HO-Humas Polda Papua/aa. (Handout Humas Polda Papua)

Junjung sportivitas

Insiden di ring tinju pada Jumat 8 Oktober lalu adalah contohnya, ketika petinju DKI Jakarta Jil Mandagi dipukuli di luar ring tinju setelah mengungkapkan ketidakpuasannya atas keputusan juri saat melawan petinju Nusa Tenggara Timur Luki Mira Agusto Haru dalam kelas 52-56kg putra.

Insiden ini terjadi dua hari setelah keputusan kontroversial yang memaksa Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Tinju Amatir Indonesia (PP Pertina) Komaruddin Simanjuntak naik ring untuk menenangkan ofisial dan penonton setelah petinju tuan rumah Hana Kendi dinyatakan menang angka atas petinju Papua Barat Merlin Tomalata dalam babak penyisihan kelas terbang ringan putri.

Jil membanting pintu dan menendang spanduk pembatas ring sampai pecah. Tindakannya membuat marah relawan pelaksana pertandingan yang seharusnya berkepala dingin. Walaupun insiden ini sudah diselesaikan baik-baik, namun tetap harus menjadi catatan besar yang harus diperhatikan selama PON ini agar tak terulang, baik dalam sisa PON ini maupun pada PON mendatang.

Pertina sendiri sudah membuat keputusan tegas dengan mengistirahatkan tujuh wasit dan hakim sampai hari kelima kompetisi tinju PON Papua.

Baca juga: Lima hari pertandingan, Pertina istirahatkan tujuh wasit dan hakim

Tapi kontroversi terus terjadi. Salah satunya pada bina raga ketika kontingen Jawa Timur merasa dicurangi. Pelatih kepala bina raga Jawa Timur Raja Siahaan mengungkapkan banyak kecurangan yang terlalu kentara dalam final di Auditorium Universitas Cenderawasih kemarin.

"Keputusan dewan juri pada pertandingan itu merugikan tim Jawa Timur. Misalnya atlet kami Misnadi yang sebenarnya sudah mendapat medali dalam kelas 70 kg, saat akan naik panggung untuk menerima medali tahu-tahu namanya tidak dipanggil," kata Raja.

Kecurangan lain bahkan membuat Jawa Timur sampai mengembalikan dua medali perunggu bina raga kelas 65 kg dan 80kg yang diraih dua atletnya, Kariyono dan Komara Ditayana.

Dalam bentuk lain, kontroversi juga terjadi sebelum kompetisi, seperti disampaikan kontingen biliar Jawa Barat yang walau mengaku tak terganggu oleh strategi yang dilakukan tim lain, mereka menggarisbawahi siasat tim lain dalam memperbanyak nomor pertandingan biliar yang bukan unggulan Jawa Barat, tapi sebaliknya mengurangi potensi medali Jawa Barat dengan mengurangi atau bahkan menghilangkan nomor-nomor unggulan provinsi ini.

Itu adalah contoh bahwa aspek sportivitas dalam olahraga selama PON masih menjadi persoalan besar. Ini juga bisa menegaskan PON ini dan olahraga pada umumnya melulu dianggap sebagai upaya mengoleksi sebanyak mungkin medali yang kadang dilakukan dengan tidak mengindahkan sportivitas yang justru menjadi pembeda olahraga dari laku tidak sportif manusia dalam matra lain, misalnya politik.

Persoalan ini tak boleh dibiarkan, apalagi sampai dimaklumi. Sebaliknya, PON Papua semestinya menjadi momentum untuk tidak saja kian menyatukan negeri ini, tetapi juga meninggikan aspek sportivitas dalam olahraga.

Dengan cara ini, prestasi olahraga pada tingkat nasional bisa sebangun dan tegak lurus dengan prestasi olahraga pada tingkat regional dan internasional di mana para juara acap dihasilkan dari atmosfer kompetisi yang menjunjung tinggi-tinggi sportivitas.

Baca juga: Menpora desak pemangku kepentingan cegah kericuhan tinju tak terulang

Copyright © ANTARA 2021